Ocean Blue Flame

Selasa, 04 Januari 2011

sastra dan sejuta isinya

Sebuah lorong sempit tempat beberapa ruangan kecil saling bertatap wajah terlihat sepi dan agak lengang, tak seperti hari-hari biasanya yang riuh oleh suara dari setiap ruangan dengan tema aktivitas masing-masing. Mungkin karena musim libur yang kini membuat para penghuni lorong ini berbondong-bondong menuju kampung halaman masing-masing. Lorong ini nampak gelap dan sedikit tertutup, tak dilewati sinar mentari siang hari, sehingga udaranya agak pengap. “Terkadang ada rasa malas dan tak suka berlalu disitu”, ungkap beberapa temanku yang biasa memulai ceritanya soal lorong sempit bertempat di lantai dasar itu. Untung saja ada sosok yang begitu tekun berjuluk “cleaning service” yang setia membungkukkan punggungnya setiap pagi buta. Tanpa pernah bicara,ia terus membersihkan lantai yang kotor dengan sebatang alat pel di tangan sebelum sepatu-sepatu cantik mahasiswi kembali menggilas lantai putih itu menuju ruangan kuliahnya. Sang cleaning service hanya menatap sayu tanpa ada tanggapan ataupun larangan, walau jauh di sudut hatinya terbesit rasa kesal yang cukup besar untuk menyuarakan hasrat marahnya. Apalah daya, ada batas yang kian menjadi pembeda antara dirinya dengan mereka yang berlalu lalang dan tanpa sadar ada hati yang gundah gulana.

. Lantai yang masih basah hasil kerjanya itu bernoda bekas sepatu ber-merk ragam jenis baik domestik maupun mancanegara. Artinya, kita benar-benar sudah ada di zaman globalisasi yang tak kenal batas segala hal.

Lorong ini bukanlah sebuah lorong perumahan yang rimbun akan pepohonan dan bunga-bunga cantik menghias halaman. Bukan pula sebuah gang yang sering dipenuhi kelompok balita bermain dan berlari sambil bersorak gembira kesana kemari. Melainkan, di lorong ini ada generasi muda. Generasi muda yang kini menyandang status mahasiswa dan kaum akademis yang akan melanjutkan tampuk kepemimpinan dari republik ini. Berdatangan dari berbagai pelosok daerah, bahkan luar pulau sulawesi dan berkumpul membaur dalam satu rasa dan status yang sama, Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin. Fakultas yang tergolong dalam regulasi kelompok ilmu sosial bersama dengan beberapa rekan Fakultas lain yang turut bercita rasa disiplin ilmu sosial. Belajar Ilmu tentang kebersamaan,kehidupan manusia dan budayanya. Tapi entah mengapa sangat sulit mewujudkan implementasi dalam keseharian sesuai dengan bidang ilmu yang menjadi dasar langkah kaki di kampus merah ini. Mungkin karena lingkungan dan faktor zaman yang kian sedikit demi sedikit melunturkan budaya dan mencoba untuk menembus keras garis budaya kita. Sering terlihat memang apa yang ada kini hadir di tempat ini, bukan lagi budaya dan kebiasaan ala Indonesia, tapi kecenderungan untuk meniru dan berlagak ala mereka yang jauh dari kekurangan untuk sekedar berpenampilan. Merogoh kocek dalam-dalam agar tampil maksimal di setiap langkah dan menjadi modal utama penggait gadis cantik molek di pelataran kampus. Tapi, berbeda halnya dengan apa yang ada di lorong sempit. Bukan penampilan yang berada di garda depan, tapi kesederhanaan dan citarasa unik yang tampak mendominasi sesuai dengan latar belakang masing-masing. Walau begitu, tak bisa dipungkiri bahwa, disini ada wibawa, ada idealisme bahkan ribuan kemunafikan yang tersembunyi.

Setiap ambang pintu ruangan di lorong ini, terpampang jelas atribut organisasi melekat rapi di atas daun pintu sesuai kreatifitas masing-masing. Sangat kontras terlihat dengan lampu kecil yang menerangi dari dalam bak lampion di panggung sandiwara. Indah menghiasi lantai dasar dari gedung tua yang sekian lama berdiri kokoh memberi ruang untuk kami menuntut puing-puing ilmu tentang budaya dan segala hal diluar bangku kuliah. FIS V, nama gedung yang sedari dulu tak pernah berubah namanya. Tak berdiri tunggal, tapi serangkai dengan gedung-gedung lain yang juga bernama FIS membentuk sebuah tanah lapang di tengahnya. Tanah lapang yang menjadi pusat kegiatan seremonial mahasiswa baru fakultas sastra, dan terkadang menjadi tempat perhelatan sepak bola antar ruangan di lorong yang mengundang gelak tawa penontonnya. Lorong sempit ini ada di lantai dasar FIS V, tertindih dua lantai di atasnya membuat lantai ini tak tampak jelas dari pelataran fakultas. Memang sulit untuk memperhatikan jelas apa yang ada disana ketika berdiri di pelataran sastra yang posisinya lebih tinggi dari lantai dasar FIS V. Dari luar, hanya terlihat sebuah ambang pintu yang menjadi gerbang utamanya. Tampak agak gelap membuat kesan pertama seorang mahasiswa baru akan sdikit ciut nyalinya melewati lorong ini. Dibalik lorong yang tampak buram dan remang ini, ditambah pula isinya yang tak jelas apa saja, tersimpan sejuta keceriaan dan kemelut di dalamnya. Keceriaan yang penuh canda tawa dan kemelut yang tak lain karena organisasi yang terus diterjang masalah karena persoalan kuno. Persoalan tentang progam kerja yang tertunda dan dana proposal yang tak kunjung datang, membuat siapa saja yang pernah mengenyam pahit manis lorong ini sedikit banyak punya cerita dan segudang pengalaman untuk dibagi di dunia luar sana. Belum lagi keberadaan mahasiswa baru yang menyisakan tugas baru untuk para seniornya menyiapkan segala hal tentang jadwal kuliah dan persoalan kaderisasi. Setiap jurusan sibuk dengan massanya, berkumpul di suatu tempat berceloteh panjang di hadapan mahasiswa baru yang bersungut jenuh mendengar seniornya bercerita dan marah tidak jelas.

Di lorong ini terdiri dari beberapa jurusan atau sering disebut himpunan mahasiswa dan unit kegiatan mahasiswa. Berdiri sejajar atas dasar yang sama dan disatukan oleh rasa kebersamaan dalam wadah senat mahasiswa. Jurusan yang ada kebanyakan diawali dengan nama sastra ditambah pula dua jurusan yang berkecimpung dalam ilmu humaniora, arkeologi dan sejarah. Mungkin salah satu alasan mengapa fakultas ini berjuluk sastra. Fakultas yang kini berganti nama menjadi fakultas ilmu budaya. Entah apa pula yang menjadi dasar kuat sebagai alasan sehingga terjadi sebuah perubahan demikian tak jelas maknanya. Walau begitu, tetap saja nama sastra masih tenar dalam tiap kata dan identitas penghuninya yang masih sering memakainya untuk sekedar sebuah identitas. Mungkin karena terlanjur menyatu dengan kata yang sepintas kedengaran begitu dalam maknanya. Sampai pada suatu ketika, tampaklah goresan tangan pada tembok gedung. Walau salah dalam aturan, tapi menurut kami tetap benar dalam kata. “teriakkan sastra di telinga mereka yang tak jelas berkata!”. Ucap tangan kreatif yang sampai saat ini masih belum kutahu siapa pemiliknya. Cukup berarti dan mungkin saja membuat iri mereka dari fakultas sebelah ketika tanpa sengaja membacanya. Goresan hitam dari arang yang membuat tiap mata memandang dan hati yang mengucapkannya, tanpa sadar akan mengukir senyuman di bibir seraya membusungkan dada merasa bangga memiliki fakultas kecil ini. Di tempat ini ada kesenangan, adapula kepedihan yang sering menghiasi perjalanan di kampus merah. Rangkaian jalinan kekerabatan dengan alas kebersamaan dan nuansa kekeluargaan juga turut menjadi bagian dari tiap cerita. Ada dialektika yang tak pernah ada ujung pangkalnya. Membuat siapa saja yang hadir disini merasa betah berlama-lama sampai lupa akan gelar sarjana yang semakin menuntunnya enyah dari dunia kampus. Berbagai hal baru dan pengalaman yang sulit hilang dari ingatan. Terus tumbuh dan berkembang menjadi sebuah pohon subur dengan ranting-ranting yang banyak dan dedaunan yang berbunga indah dalam bingkai memori kenangan sejuta cerita tentang sastra dan isinya.

Memang bukan sekedar mainan berada di kampus ini. Banyak tuntutan yang harus aku dan mereka penuhi. Di lorong sempit ini kami berkarya dan bercerita tentang apa yang akan bertandang di masa mendatang. Terkadang pula ada rasa bersalah saat waktu-waktu berlalu tanpa diisi dengan bergabung dalam kelas bersama teman mendengar kuliah dari sang dosen yang sudah mulai ditumbuhi uban di kepala. Kami sibuk berurusan dengan program kerja organisasi dan berdebat tentang solusi untuk masalah baru. Terkadang ruangan sempit yang menjadi rumah kedua menjadi tumpah ruah, malah sampai harus mencari ruangan lain hanya untuk memulai sebuah rapat membahas beberapa agenda. Begitu gambaran singkat yang terlihat di lorong sempit nan sibuk ini. Sibuk dengan urusan tiap organ sampai terkadang lupa untuk bertutur sapa dengan tetangga sebelah. Tetangga jurusan yang kebetulan tidak ada di lorong ini. Sedikit terpisah tapi setidaknya dalam tiap rangkaian kegiatannya, selalu ada silaturahmi antar sesama membuat keakraban dan ikatan tak pernah luput dari pandangan.

Lorong ini selalu terlihat riuh kala musim libur telah sampai pada penghujungnya. Tiap ruangan akan kembali dipenuhi oleh sivitas akademika yang sibuk dengan urusan masing-masing. Entah apa yang ada dalam benak mereka. Antara rasa tenang jalani hari dan penantian akan episode baru saat gelar sarjana sudah dalam genggaman. Sebagian masih terlihat segar dan penuh ceria di wajahnya, sebagian pula ada yang duduk manis termenung di kursi panjang tepat di sudut lorong. Kelihatan ceria karena masih ada di babak awal dari cerita, sementara yang termenung tadi pening memikirkan skripsi yang menanti kelanjutan bab berikutnya alias sudah ada di babak falling dalam sebuah novel. Sebuah tanda tanya besar tentang seperti apa jadinya nanti. Kala renungan menusuk batin dengan ribuan pertanyaan menyakitkan, muncul pula lembar khayal baru berisi wajah-wajah penuh kasih kedua orang tua yang selalu mendambakan anaknya menjadi manusia berarti. Barangkali, inilah salah satu bagian dari lamunan wajah-wajah murung sambil menatap lembaran buku-buku kuliah. Buku-buku yang menjadi momok menakutkan, berisi rangkaian kata cukup bagus ala ilmuan dan entah mengapa sangat sulit terekam di kepala dan akhirnya membuat jeblok ipk-nya. Sebuah simbol yang menjadi standar prestasi mahasiswa perihal perkuliahan, namun tidak pada pengetahuan dan wawasan di luar bangku kuliah. Selalu saja menjadi bahan cerita dan pertanyaan yang berulang kali ditanyakan saat duduk di kantin sederhana kolong gedung. Kolong yang menjadi tempat semua golongan yang ada di fakultas ini. Dari mahasiswa lama dan baru, cleaning service, dosen-dosen, bahkan petinggi fakultas juga kadang hadir disitu berbincang sebentar dan berlalu pergi menyisakan tanda tanya yang belum terjawab. Beberapa gelas kopi dan kepulan asap mewarnai cerita-cerita mahasiswa saat duduk manis di tempat ini. Ada-ada saja yang menjadi topik baru dan bahan candaan mengundang gelak tawa. Namun terkadang di sudut-sudut tertentu, terlihat dua tiga orang yang duduk serius membicarakan suatu hal. Mungkin berdiskusi atau berbagi cerita, tapi memang tempat ini juga sedari dulu memberikan ruang bagi anak-anak sastra untuk menambah sedikit ilmu tak terduga. Sama persis suasana di lorong yang selalu terlihat kelompok-kelompok kecil berhadapan dan serius menatap satu dengan yang lain.

Lorong sempit bernuansa sastra ini penuh dengan kesibukan. Sibuk dengan perihal surat menyurat walau hanya dinding yang membatasi ruangan satu dengan yang lain. Pinjam meminjam dan terkadang tak ada yang kembali. Semua menjadi sebuah proses sebagai tanda bahwa ada kata belajar di tempat ini. Ada yang sibuk dengan persoalan bahasa, ada yang gelisah mencari bahan budaya untuk dikaji, bahkan riuh karena suara gendang bernuansa tradisional budaya bugis makassar menjadi latar dari segala aktivitasnya. Belum lagi para pemuda yang senang dengan petualangan di ruangan sudut sibuk dengan dentingan alat vertikal dan kolam ikannya. Para pemusik mulai memainkan gitar dan dentaman drumset seirama dengan suara merdu gadis manis melantunkan lagu lokal Indonesia. Sebuah pemandangan yang memicu daya fikir untuk mengungkap apa yang ada dalam lorong ini. Ruangan-ruangannya sesak dilengkapi peralatan ala organisasi mahasiswa, bahkan ada yang lengkap dengan alat memasaknya. Ruangan kadang dipenuhi kertas berserakan dan asbak yang tumpah karena sudah tak mampu lagi menampung puntung rokok berbagai jenis merk. Identik dengan pakaian lusuh yang biasanya berwarna hitam, duduk bersimpuh di dalam ruangan dengan jeans yang sudah bolong menjadi pelengkap seorang mahasiswa sastra. Walau tak semua bisa dibilang persis begitu, tapi cukup representatif ketika bertandang di lorong ini. Helai-helai rambut rontok berserakan di lantai putih berasal dari kepala si gondrong yang sudah menjadi lumrah di fakultas ini. Sepintas kelihatan sangat tidak kontras dengan penampilan seseorang yang berstatus mahasiswa, golongan akademis yang patut menjadi panutan di kalangan masyarakat. Tapi, ditempat ini penampilan bukan lagi menjadi hal yang perlu untuk dijadikan dijadikan tolak ukur. Walau dengan penampilan yang kucar-kacir ini, kuyakini segudang wawasan bersarang di kepala mereka. Tak sekedar wawasan yang ada, tapi dibalik keras wajah yang tampak anarki itu, tersimpan jiwa yang besar untuk menjadi pelanjut dari bangsa besar Indonesia. Mengambil alih tampuk kekuasaan yang kian marak akan kasus korupsi yang tak pernah ada solusinya. Membawa dan mengiringi langkah bangsa ini menuju peradaban yang sebenarnya, jauh dari sifat ketidakadilan dan keangkuhan yang luar biasa.

Dengan semangat romansa dan bait puisi yang berbunga mekar, kami goreskan dan kami teriakkan ribuan kalimat sastra mengangkat tema tentang budaya dan sejuta persoalan negeri ini. Di lorong sempit ini, ada perjuangan. Perjuangan dari anak muda berjiwa sastra. Semoga apa yang tertuang dalam tulisan singkat ini, menjadi referensi baru pembangkit semangat jiwa generasi penerus bangsa dari republik tercinta ini…… salam lestari! (EDELWEIS), 00.03 WITA, 03 januari 2011.






0 komentar:

  © ichal_bandot punya 'E.103' by kottink_paribek 2008

Back to TOP