Ocean Blue Flame

Selasa, 28 Desember 2010

putih karst luluhkan pongah dalam jiwa

Tubuhku hampir menyatu dengan bebatuan karang nan keras, barangkali hanya lima sentimeter jika ada yang ingin mengukurnya. Bebatuan karang keras dan sedikit ditumbuhi beberapa tumbuhan hijau di pinggirannya kelihatan kokoh berdiri tegak setia menaungi tanah kering di dasarnya. Tampak teksturnya sangat jelas di depan mataku, warnanya putih namun sedikit dikombinasikan dengan warna hijau karena lumut yang menjalar di bagian-bagian tertentu. Jika dilihat dari kejauhan, akan tampak sebuah tebing vertical mengarah ke jalur trans antar daerah di Sulawesi selatan.

Di sebelah atas bertuliskan “Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung” jelas tertata rapi hasil kerja tangan para penggiat olahraga di ketinggian. Berlokasi tidak jauh dari pintu masuk sebuah tempat wisata terkenal di Sulawesi selatan, Bantimurung seperti yang terpampang di atas tebing tempat tanganku kini terpaut erat berpegangan mencari celah yang paling meyakinkan. Hati dan perasaan tak karuan jadinya. Penasaran dan kekhawatiran berbaur menjadi sebuah rasa yang tak bisa terungkap dalam kata. Cukup membuat ciut nyaliku. Sebuah hardness yang sudah agak lusuh menunjukkan jam terbangnya yang tergolong tinggi sudah melekat di pinggangku. Alat yang begitu berarti untuk olahraga panjat tebing ini. Berat rasanya tubuhku dipenuhi peralatan. Segala peralatan yang menjadi stantar keselamatan pemanjatan tebing, bergelantungan di pinggangku. Cukup berat dan membuat gerakanku sedikit kaku dan sangat terbatas akibat dentingan logam berjuluk carrabiner saling beradu terus kedengaran saat aku mencoba mencari posisi yang nyaman. Lalu kukalungkan tasbih hitam di leherku. Benda yangs selalu menemani setiap perjalananku ke alam terbuka. Walau kuakui memang sangat jarang kugunakan sesuai dengan fungsinya. Tapi setidaknya aku masih punya sedikit bayangan dan ingatan terhadap sang pencipta bahwa aku ini hanyalah makhluk biasa yang tak rajin menemuiNya dalam shalat. Sepintas terlintas di benakku, bahwa memang selama ini, aku terus terlarut dengan aktivitasku tanpa pernah sedikit menundukkan kepala hanya untuk beberapa menit menghadap kepadaNya. Betapa berdosa diri dan segenap jiwa raga ku. Selalu menikmati apa yang telah ada padaku dan seluruh yang ada di jagad raya, tapi tak berpaling pada sang pencipta yang barangkali sudah jenuh akan kepongahan hati ini. Semoga apa yang kurangkai ini bisa jadi sebutir emas berharga yang akan kujaga sepenuh hati dan tak luntur ditelan waktu. Menjadi bait-bait indah yang akan kukenang selalu dan menjaga hati ini agar bersih dalam setiap langkah dalam kehidupan. Seringkali terfikir pula olehku banyaknya orang diluar sana yang akan berkata betapa bodoh dan gilanya kami yang ingin mempertaruhkan nyawa hanya untuk skedar melakukan hal aneh dan sama sekali tak ada untungnya menurut mereka. Ahhh….. mungkin saja saudara-saudara kami yang berkata demikian belum mengerti apa yang ada dibalik perjuangan ini. Lewat hobi dan kecintaan akan alam dan bergiat dalam aktivitas penuh resiko ini, mungkin menjadi jalan terbaik bagi kami untuk belajar membawa hati dan akal fikiran terhindar dari kepongahan dan sombongnya kehidupan kota….

Kulakukan sedikit peregangan agar ototku tak kaku dan menimbulkan rasa nyeri nantinya. Kulafaskan sedikit doa singkat dalam hati sebelum menengadah ke atas mencari celah-celah di bebatuan. Semoga dengan seutas tali kernmantel yang tersimpul rapi pada hardness di pinggang tetap setia menjaga keselamatanku. Setelah sang belayer mengangguk perlahan tanda siap mengantarkan langkahku meraba permukaan tebing ini, jemariku mulai mencari pegangan unutk mengangkat tubuh ini jauh keatas. Sangat perlahan, cukup berhati-hati dan waspada dalam setiap gerakan dan pijakan. Sesekali singgah di beberapa posisi untuk memasang runner dengan membenamkan besi berjuluk python sebagai pengaman terlebih dahulu. Mengenakannya pada tali dan menghembuskan nafas panjang untuk memulai langkah baru. Terkadang sambil mengusap keringat dengan lengan yang berhias serbuk kapur putih, aku berpaling kebawah melihat betapa tangguhnya saudaraku, sang belayer yang setia mendongak keatas demi keselamatanku. Walau pegal mendera leher dan pundaknya, tak pernah lepas pandangannya ke arahku dengan seutas tali melekat di kedua tangannya. Terus begitu….. semakin tinggi pula pijakanku. Saat menoleh kebawah, terbesit di hati bahwa semakin tinggi pijakan ini, semakin tinggi pula resiko yang ada. Begitu pulalah rangkaian kehidupan yang selama ini kita jalani. Semakin jauh dan tinggi kita melangkah, maka resiko dan ketelitian akan mengikuti dengan sendirinya. Semakin besar kedudukan kita, semakin besar puls tanggungjawab yang harus diemban. Jika tidak seperti itu, maka hidup ini bukan lah sebuah kehidupan yang berarti. Cukup hanya sekedar menikmati hidup, tapi tidak memaknai kehidupan. Dari atas sana, kulihat luas alam terbentang, jauh ke batas horizontal sejauh mata memandang. Begitu luas, begitu besar apa yang ada. Sungguh keagunganMu tak ada duanya. Terbesit secuil rasa puas di dada saat mampu berada di sini walau hanya untuk beberapa menit saja. Kemudian akan bergelantungan bebas pada tali untuk kembali pada pijakan yang sesungguhnya. Memang bukan hal aneh ketika degup jantung berdetak lebih cepat di atas sana. Terkadang pula teringat momen indah bersama keluarga, dan kedua orang tua. Merasa takut kehilangan mereka. Merasa diri sangat kecil dihadapan sang maha kuasa. Setidaknya menjadi sebuah symbol bahwa kita ini mahkluk tak berdaya di hadapan sang Khalik.. mampukah aku kendalikan rasa sombong yang tak mau pergi? Semoga dengan ini ada yang bisa menambah puing-puing kesadaran dalam jiwa dan membawa aku dan saudaraku pada kehidupan yang jauh dari kepongahan…… E.103.09.L.A.89.FIB-UH. “23.14.depsos, maros”.

0 komentar:

  © ichal_bandot punya 'E.103' by kottink_paribek 2008

Back to TOP