Ocean Blue Flame

Jumat, 03 Februari 2012

Retak-retak pada dinding Endonesa

Topografi Kab. Maros
Sebuah garis lintas pada peta topografi keluaran 1998 yang mempertemukan dua kabupaten di Selatan Pulau Sulawesi cukup menarik untuk dijadikan medan untuk mengenal wilayah hutan rimba dan kehidupan yang ada diselah-selahnya. Wilayah yang terdapat pada garis lintang 13’ (menit) sampai pada garis lintang 3’ melewati garis bujur 38’ dan 39’ memberi aneka ragam medan yang cukup ekstrim dan menarik. Begitu pula pada sisi kebudayaannya yang berciri khas tanah Sultan Hasanuddin dan Bumi Salewangang sebagai titik akhir perjalanan lintas wilayah ini. Parangloe, nama desa dimana pertama kali kami melirik layar GPS yang menunjukkan menit 13, dan sekaligus menjadi titik awal perjalanan. Disitu menjadi lokasi Camp pertama kami dan berbincang-bincang sedikit mengenai perencanaan hari esok dan lusa. Tepat di tanah yang masih basah pada pinggiran Sungai Besar Parangloe, tenda kami berhadapan dan akar-akar kecil menyembul di perantaranya. Sedikit berbahaya lokasi itu karena sewaktu-waktu air sungai dapat meluap karena tepat musim hujan.
sungai parangloe
            Melalui beberapa aliran sungai besar dan kecil menjadi rutinitas pada jalur perjalanan panjang ini. Empat hari kami tempuh medan padat dengan hutan dan belukar dengan kontur yang beraneka ragam pada peta topografi. Tersaji berbagai jenis medan dengan floranya masing-masing. Begitu pula dengan perkampungan yang tergolong sebagai daerah terbatas pada akses jalan dan informasi. Kami sempat singgah dan sejenak bersosialisasi bahkan sempat menginap pada rumah tertentu yang memungkinkan pada saat hari mulai dijamah gelap malam. Cukup menarik menikmati malam dalam suasana desa yang gelap dan hanya sesekali terdengar bunyi kenderaan roda dua melintas sekilas dan kemudian hening kembali. Hanya bunyi mahkluk-mahkluk malam yang menemani cerita-cerita kami bersama tuan rumah diapit dinding-dinding kayu yang hampir berakhir usianya.
rumah kecil warga setempat
               Salah satu yang sempat terekam jelas adalah pada saat kami sempat menghabiskan malam di sebuah rumah milik seorang wanita paruh baya. Terletak pada garis lintang 5’ dan garis bujur 39’, Desa Bossolo kecamatan Tompobulu Kabupaten Maros. Rumah kecil yang berdiri sendiri di penghujung desa tanpa akses jalan untuk kenderaan. Hanya jalan setapak yang menghubungkan rumah ini dengan jalan desa dan itu harus ditempuh sekitar setengah jam berjalan kaki. Disambut dengan senyuman sedikit ragu dengan kedatangan orang asing, membuat kami agak sulit berkomunikasi untuk menyampaikan maksud kedatangan kami. Ditambah pula kemampuan berbahasa yang kurang memadai untuk memahami bahasa lokal yang menjadi perantara pada waktu itu. Dengan bahasa yang tidak karuan beliau mengizinkan kami bermalam di teras rumahnya. Meskipun sempit tapi cukup untuk kami berlima dan barang bawaan yang basah diguyur hujan seharian. Rumah kecil berteras papan dan bambu ini menjadi alas tidur kami yang terasa nyaman sekali. Karena posisinya yang jauh dari rumah-rumah lain, tidak ada penerangan yang terlihat. Bahkan, sumber listrik tenaga suria juga tidak dimilikinya seperti rumah-rumah panggung lain yang terletak kira-kira satu kilometer dari tempat itu. Pelita dari botol kaca membuat teras rumah menjadi sedikit bercahaya ditambah dengan cahaya lilin yang kami bawa.
          Ibu paruh baya yang belakangan kami ketahui namanya Biba adalah seorang janda. Beliau ditinggal suaminya merantau dan akhirnya menikah lagi dengan wanita lain di perantauannya. Hal itu membuat ibu Biba terpaksa hidup bersama seorang anak perempuannya. Anak lelaki satu-satunya pula merantau ke Kota makassar dan menetap disana. Anak perempuan yang dimilikinya menikah dan sekarang memiliki empat orang anak yang tinggal bersama beliau. Cukup ramai rumah itu. Walau begitu banyak kisah sedih tentang hidup yang menghimpit kehidupan serba terbatas, tapi selalu ada ceria dan canda tawa darinya. Kami tergelak saat beliau berkata dia rela bila suaminya menikah lagi karena itu hal yang wajar untuk seorang lelaki seusia suaminya yang masih muda.
menantu Ibu Biba mengambil aren
ladang sawah ibu Biba
        Beliau seorang wanita yang kuat dan tabah. Secara ekonomi, memang tak mudah menjadi sosok Ibu Biba. Dengan sebidang tanah yang digarapnya untuk menanam padi di dataran tinggi, dia mampu survive dan menetap sampai anak cucunya. Meskipun tanpa suaminya lagi, beliau cukup kreatif-mengolah perekonomiannya. Menantu yang kini tinggal bersamanya menjadi tulang punggung kehidupan keluarga kecil ini. Setiap pagi harus berjalan tanpa alas kaki dan memanjat pohon aren untuk mengambil sarinya yang kemudian diolah menjadi gula merah menurut istilah masyarakat lokal. Dimasak seharian dan akhirnya menggumpal keras pada wadah yang membentuknya khas. Gula itu dijualnya kepada pedagang yang sengaja datang membeli seharga RP 3000/biji. Hanya mata pencaharian ini yang kini dapat menghasilkan uang bagi keluarga Ibu Biba.Padi yang ditanam sekali setahun hanya untuk bahan pangan selama setahun sampai kembali panen tahun berikutnya. Ditambah beberapa ekor kambing yang tertambat di kolong rumah, itulah segala yang dimilikinya. Bukan hal yang mudah untuk mengerti kesulitan mereka. Sulit memprediksi apa yang akan terjadi beberapa tahun kedepan. Rumah yang satu-satunya tempat berlindung dari panas dan hujan di tengah perbukitan pelosok kabupaten Maros itu kian rapuh. Dindingnya tampak usang, begitu pun atapnya dan sudut-sudut lain pula. Kesannya akan terlalu hiperbolik bila harus dijelaskan satu-persatu. Tak banyak yang bisa dilakukannya. Hanya tatapan kosong dan sorot mata yang setidaknya masih memiliki segenggam semangat untuk tetap hidup.
anak-anak sekolah Bossolo
           Ibu Biba masih bisa tertawa dan tersenyum dapat tinggal bersama anak dan cucunya yang dua diantaranya kini duduk di bangku SD. Cucunya pula setiap pagi harus melewati jalan setapak belukar dan jalan desa yang menanjak keras menuju bangunan sekolah dengan tiga ruang kelas. Namun entah mengapa hanya dua yang terisi dengan seorang guru yang sifatnya sukarela, khas sekolah di pelosok-pelosok. Anak-anak bermain di sekitar halaman sekolah berhias belukar dan dan beberapa pohon jambu mente. Naik di atas pohon dan berlari masuk ke dalam ruang kelas saat sang guru sukarela memanggil untuk mulai menghitung dari satu sampai sepuluh. Kami menatap dari sebuah sudut halaman sekolah, sesekali memotret dan merekam peristiwa penting yang patut untuk kami beritakan kepada khalayak bahwa seperti ini kondisi pendidikan dan nasib bangsa di negeri ini. Mereka dengan senyum tersipu berlari-lari dan sibuk berbisik-bisik melihat blitz kamera memancar di wajah lugunya. Sebuah pemandangan yang menyimpan seribu pekerjaan rumah bagi kaum yang duduk di atas sana.
            Di balik berbagai ironi yang sempat kami lewati, ada hal yang membuat kami bangga menjadi bagian dari bangsa ini. Mereka kuat sekali, Ibu Biba itu kuat, anak-anak itu kuat berhadapan dengan kehidupan yang miris dan terisolasi. Tak ada alasan untuk menolak kenyataan yang tertata dalam realitas. Karena itu kami merasa batin dan raga bertambah kuat saat mereka menebar senyum dan tawa meskipun dalam lingkup yang serba terbatas. Ada keceriaan dalam gubuk tua yang dikelilingi pohon kapuk. Ada derai tawa dari pinggiran kebun dan ladang yang diguyur hujan. Luka negeri ini terobati oleh senyum-senyum manis dari pelosok yang lugu dan sakit. Kami bangga bisa berjalan dan sampai di tempat ini. Meskipun Kami bukan siapa-siapa untuk menambal dan mengobati bagian yang robek pada sisi kehidupan tajam keluarga kecil di pelosok, setidaknya ada yang dapat kami beritakan untuk penghuni negeri ini tentang sudut-sudut kejam di tanah air… sekian.

0 komentar:

  © ichal_bandot punya 'E.103' by kottink_paribek 2008

Back to TOP