Ocean Blue Flame

Jumat, 30 September 2011

Pribumi dan Non Pribumi

           Pribumi dan bukan pribumi…. Sekilas tak tampak ada perbedaan yang mendasar antara keduanya. Namun dibalik itu, tersimpan beribu momok menyeramkan yang membuat keduanya menjadi terpisah dalam tataran sosial. Mengapa itu terjadi? Mengapa ada perpisahan? Mengapa tak bisa bersatu? Katakanlah masyarakat Tiong Hoa yang dikenal dengan jiwa bisnisnya dengan masyarakat lokal. Dan dengan subjek ini, coba kita melihat dalam bingkai sehari-hari dan tempat umum yang ada. Apakah sering kita melihat seorang pria Tiong Hoa dan seorang gadis pribumi yang kulitnya coklat bergandengan tangan? atau sebaliknya? Barang tentu kawan-kawanku akan berkata itu tidak mudah ditemukan!
Seorang gadis remaja berperawakan menarik. Kulitnya bersih putih, bertubuh diatas rata-rata tinggi anak gadis remaja lokal. Matanya tampak sipit tapi cukup menarik. Kombinasi kromosom pribumi dan non pribumi. Namanya (B) dengan akhiran ……. Sebagai FAM-nya. Barangkali bayangan tentang siapa dan siapa sudah ada dalam benakmu, kawanku. Mendengar liuk-liuk bahasa yang dipakainya, mudah saja seorang anak Selatan Pulau Sulawesi untuk mengenal asalnya. Cepat tapi sangat lembut terdengar di telinga. Sulawesi Utara, atau lebih tepatnya Manado. Disana dia menetap selama sekian tahun setelah lama menjadi anak-anak di selatan Pulau Sulawesi. Dan akhirnya setelah beberapa tahun hijrah ke Manado, kini B memutuskan kembali ke Kota Makassar mengadu nasib. Beruntung teman lama yang saking baiknya sangat peduli padanya. Melihat tampang dan bentuk tubuhnya, bukan sebuah hal yang rumit untuk mendapat pekerjaan di Kota metropolitan. Bahkan seorang BIG BOSS bisa saja memecat karyawannya demi mempekerjakan si B.

Beberapa minggu di Kota Makassar, barulah B mulai menemukan sebuah kehidupan yang sangat berbeda. Darah yang mengalir dalam tubuhnya adalah non pribumi. Secara alami, dia adalah Tiong Hoa. Kromosom itu lebih tampak pada wajahnya. Kini ia bebas bicara, bercanda, berjalan bahkan seatap dengan anak-anak pribumi yang kesannya agak berantakan. Selama ini, B memang sudah mulai berontak dengan aturan keluarganya yang melarangnya bersama dengan anak-anak pribumi. Pribumi sampai saat ini belum juga mendapat tempat dalam kehidupan keluarganya. Belum dapat bukti dan pernyataan yang empiris untuk membuktikan hal itu mengapa bisa terjadi.. sudah menjadi bagian dari adat atau kebiasaan yang tergolong tidak nasionalisme barangkali.
Ketika pada suatu kesempatan, di sebuah rumah yang cukup besar dan berlantai dua. Ada sebuah teras yang melekat kuat pada sudut rumah raksasa itu. Angin-angin lembut pasti menyapa siapa saja yang hadir di teras itu, lembut dan damai rasanya. Di teras itu, terjadi sebuah diskusi kecil. Lebih terdengar intelektual daripada disebut sekelompok anak muda yang sedang nongkrong ria. Ditemani angin malam yang sudah tua, mereka terus menikmati suasana teras yang berselimut kedamaian. B juga hadir jadi salah satu bagian dari kelompok itu. Bersama beberapa anak pribumi ia tertawa lembut saat seorang bertanya padanya tentang kulit dan asalnya. Dan mulai saat itu, bertebaranlah berbagai pertanyaan tentang asal mula mengapa ia bisa sampai di teras itu, kembali menyatu dengan gemerlapnya lampu malam Kota Makassar.

B adalah salah satu remaja yang tergolong korban pribumi dan non pribumi. Namun ia berontak dan akhirnya mencoba mencari jalan hidupnya sendiri. Mungkin dengan itu B merasa dunia tidak sesempit fikiran tabu keluarganya. Meski masih sering terlihat bengong dan tak jelas mimiknya, setidaknya ada senyum yang bisa ia gambarkan ketika bersama anak-anak pribumi yang berkulit kecoklatan.. hahahahaha…”teruntuk bangsaku dan negaraku.. bersatulah, jangan lagi ada tembok diantara kita”. E.103. mabes ukmpaedelweisfibuh. 20 september. “ ESOK TIDAK DISINI LAGI, KAMI MAU BERJABAT LAGI DENGAN DAMAINYA RIMBA”

0 komentar:

  © ichal_bandot punya 'E.103' by kottink_paribek 2008

Back to TOP