Ocean Blue Flame

Minggu, 08 Mei 2011

Sejarah Penduduk Asli Pegunungan Binaiya dan Rahasia yang Tersimpan v

Sebuah hal yang sangat kompleks ketika membahas seputar silsilah keluarga dan tali persaudaraan masyarakat pegunungan Pulau Seram. Hubungan yang dahulunya sangat dekat bahkan dikatakan sebagai saudara kandung, kini hanya sebatas bualan. Menurut Hasan (53), kepala saniri negeri dari desa Wahai Seram Utara, bahwa masyarakat pantai Utara Seram dengan penduduk yang bermukim di kaki-kaki gunungnya memiliki satu ikatan keluarga yang dekat dan kian menjauh karena jarak yang memisahkan. Ketika missionaris protestan sudah gencar memasuki wilayah pegunungan, sebagian masyarakat yang muslim dan yang masih menganut animisme mulai memeluk agama protestan. Sebagian pula memilih untuk tetap memeluk islam. Atas dasar ini, maka pada waktu itu terjadi semacam konflik batin diantara mereka yang bersaudara. Tinggal bersama dalam satu wilayah dengan latar belakang keyakinan berbeda menurut mereka tidak benar. Diadakan sebuah perundingan yang dikenal dengan nama perundingan kursi emas. Nah, yang menjadi intisari agenda perundingan adalah terkait persoalan keyakinan yang merasuki Kanikeh pada waktu itu.Masing-masing tetap dengan pendiriannya ingin memeluk agama yang menjadi pilihan. Setelah melakukan perundingan bersama, maka tercetuslah kesepakatan bahwa siapa yang memeluk agama islam harus turun ke pantai. Semua dicetus atas dasar kepentingan bersama agar tidak terjadi konflik lagi.

Sampai pada saat ini, marga asli dari desa yang menjadi kaki Gunung Binaiya ini telah menetap di pantai, walaupun sekarang yang tertinggal adalah anak cucunya. Sementara yang tersisa masih bermukim di tengah hutan belantara adalah para penerus generasi. Dikatakan oleh pria paruh baya ini bahwa lima marga asli ini adalah marga yang menjadi pemilik harta pusaka dan tuan tanah di pegunungan sekitar Binaiya. Mereka tergolong orang-orang yang memiliki derajat yang tinggi dan dihormati pada zamannya. Misalnya, marga berjuluk “kaila” yang berarti tuan tanah. Kemudian “ malueka” dan “tolo matan” yang keduanya berarti orang besar. Sementara dua marga lagi tidak diketahui dan tidak jelas keterangannya. Kelima marga ini hijrah ke pesisir pantai dan memberikan amanah kepada mereka yang tinggal di gunung. Sampai saat ini, apabila merunut pada sejarah kependudukan, lima marga asli kanikeh menyisakan rentetan keturunan di wilayah Desa Wahai (kota kecil yang berlokasi di kecamatan seram)

Disamping sejarah keturunannya, rahasia yang tersimpan dibalik mistiknya pegunungan Binaiya juga menyisakan sebuah pertanyaan besar. Begitu banyak hal yang dikeramatkan dan menjadi harta tersendiri warga pegunungan ini. Jarak yang harus ditempuh untuk mencapai wilayah perkampungan kaki gunung tergolong sangat jauh. Membutuhkan tenaga ekstra dengan waktu tempuh dua hari jika berjalan normal. Lain halnya dengan penduduk lokal yang sudah terbiasa, menempuhnya dalam waktu sehari merupakan hal biasa. Ada tiga perkampungan yang akan dilalui, dan akan berakhir di desa kanikeh. Sementara dua desa yang mendahului adalah Huahulu dan Roho. Dua desa ini memiliki perbedaan yang sedikit mencolok dalam kepercayaannya padahal masih berada dalam satu wilayah dan jaraknya hanya sekitar lima sampai tujuh kilometer. Di Huahulu, kepercayaan yang berkembang adalah Hindu Buddha. Perilaku mereka dalam beragama masih mendekati atheis yang dipengaruhi animisme yang besar, layaknya pribumi yang primitif lainnya. Terdapat kebiasaan-kebiasaan seperti pengambilan tumbal kepala manusia untuk persembahan dalam suatu acara dan rumah pengasingan bagi wanita yang sedang haid ( Lili Poso ). Di desa Roho pula, sudah terlihat sebuah gereja kecil dari kayu yang berdiri dekat dengan pintu masuk desa. Petanda ini menandakan bahwa kepercayaan yang berkembang disini adalah agama Kristen protestan. Hal yang sama terjadi di desa terakhir Kanikeh, juga memiliki gereja yang sedikit lebih besar dibanding dengan gereja di Desa Roho.

Hal yang menjadi dasar pemikiran warga ini adalah kental dengan animism. Maka dari itu, tidak heran ketika budaya, adat dan peninggalannya sangat memberikan nuansa peadaban yang berbeda dengan yang lain. Kesan keramat dan mistik selalu menjadi sandaran mereka, meski notabene telah memeluk agama langit yang punya ajaran dan Al kitab. Semua karena alasan bahwa leluhur mereka masih tetap saja selalu hadir dalam tiap langkah kehidupan mereka. Menurut kepala saniri negeri desa kanikeh, Bapak Son bahwa leluhur atau arwah nenek moyang menjaga dan melindungi mereka dalam kehidupan. Maka dari itu, setiap yang berkunjung ke tempat ini dan ingin mendaki Gunung Binaiya diharuskan melalui ritual upacara adat sirih pinang. Tujuannya agar leluhur mereka tahu bahwa ada yang sedang menjejaki wilayahnya dan akan ia berikan perlindungan dari marabahaya. Belum lagi rahasia peninggalan yang sangat dirahasiakan oleh mereka. Jalur-jalur yang ditempuh menuju desa Kanikeh dan Puncak Binaiya sebenarnya terbagi dua. Ada yang menjadi jalur umum dan ada yang khusus hanya untuk warga setempat. Jalur umum inilah yang sering di lalui para pendaki dengan bantuan guide yang disewa sebelumnya. Sementara jalur khusus, adalah jalur adat menurut istilah mereka. Hanya diketahui oleh orang-orang tertentu dari mereka. Pada jalur ini terdapat tempat-tempat yang dikeramatkan dan hanya akan dikunjungi pada saat upacara adat 29 desember. Contohnya adalah semacam kuburan besar dengan telapak kaki yang ukurannya tidak seperti telapak manusia biasa, sepanjang siku manusia. Guide yang biasaanya memandu para pendaki akan membawa mereka melalui jalur umum agar tidak melihat segala yang menjadi benda keramat warga setempat. Tidak mudah untuk melihat apa yang disembunyikan mereka, tapi untuk mengupas dan mencari tahu mungkin tergantung pada waktu dan keberadaan kita di belantara ini.


E.103.KOLEKSI EKSPEDISI MANISE 2011.

Narasumber : Hasan (53), kepala saniri negeri Wahai Kec. Seram Utara ( marga kaila )



0 komentar:

  © ichal_bandot punya 'E.103' by kottink_paribek 2008

Back to TOP