Ocean Blue Flame

Minggu, 08 Mei 2011

BERDIRI TANPA PONDASI

Tak dapat dipungkiri bahwa daerah Ambon yang akrab disapa Ambon manise sangat rawan dalam persoalan yang berbau SARA. Apalagi, ibu kota dari provinsi Maluku Tengah ini dihuni oleh ragam suku yang berbeda. Berbagai etnis yang bermukim di kota ini mencari nafkah dengan jalan mereka sendiri, khususnya masyarakat pendatang yang kebanyakan berasal dari Pulau Jawa dan Sulawesi. Tampak biasa-biasa saja seolah-olah tak ada permasalahan yang tertera di hati kecil para pendatang di Kota yang terpisah oleh teluk Bakuala ini.
Begitu menyebutkan hal-hal yang terkait dengan SARA, terlebih pada persoalan agama, tanggapan bertubi-tubi dilontarkan mereka. Masyarakat daerah Ambon yang masih menyisakan sejuta tanda tanya mengapa pernah terjadi konflik internal antar agama ini, sangat sensitif bila berbicara tentang SARA. Jadi, alangkah baiknya jika berkunjung ke tempat ini, jangan mencoba untuk mengutak-atik mereka dengan pertanyaan yang masih dalam regulasi itu. Cukup dengan mengamati dan merasakan hawa dan suasananya. Berbeda dengan penduduk lokal, hanya dengan satu pertanyaan saja, mereka berbicara panjang lebar seakan membela ras dan sukunya. Nah, mendengar itu dapat ditebak bahwa seyogiyanya tempat ini masih belum dapat menyatukan masyarakatnya. “Kami ibarat berdiri tanpa pondasi!”, begitu gambaran singkat kalimat pedas yang sempat diucapkan seorang ibu paruh baya yang sehari-hari bedagang di pasar Kota Ambon. Panjang lebar diceritakannya tentang keadaan etnis di Kota ini. Mendengar caranya berbicara, dialek yang digunakan sangat jelas menunjukkan bahwa beliau bukan orang baru di tempat ini. Persis seperti penduduk lokal dalam gaya bahasanya, hanya raut wajah yang menjadi tolak ukur bahwa dia bukan asli Daerah ini. Wanita yang selalu sibuk melayani pelanggan di warung kecilnya ini, berapi-api membela dirinya yang tidak diakui sebagai orang lokal. Padahal kurun waktu dua puluh enam tahun bukanlah waktu yang singkat untuk tinggal bermukim di suatu wilayah. Dia menginginkan derajat yang sama dalam hal kepedulian pemerintah dengan penduduk asli Kota Ambon. Seringkali dia dan sesamanya merasa terkucilkan ketika perlakuan pemerintah setempat terlihat berbeda dengan penduduk lokal dibandingkan mereka. Tentu saja muncul rasa tidak senang dan merasa dianaktirikan di kampung orang, padahal semboyan dari leluhur kita mengatakan bahwa kita memang berbeda tapi tetap satu. Banyak diskriminasi dan intimidasi terhadap mereka yang terlanjur berlabel pendatang. Katanya dalam hal perekonomian, masyarakat pendatang lebih unggul dibanding masyarakat lokal sehingga terjadi suatu kecemburuan sosial yang sebenarnya tidak patut terjadi. Ekspresi kekecewaan menguasai wajahnya dan membentuk kemarahan yang meluap-luap dalam diri wanita ini. Memang bukan persoalan sepele ketika menyinggung persoalan ras dan etnis, tapi itulah kenyataan yang terjadi. Semboyan “bhinneka Tunggal Ika” sepertinya sudah luput dari sejarah dan mulai terlupakan.

E.103. KOLEKSI EKSPEDISI MANISE 2011.


0 komentar:

  © ichal_bandot punya 'E.103' by kottink_paribek 2008

Back to TOP