Konteks Ber-Mahasiswa Pecinta Alam Kekinian
Dewasa ini, kegiatan petualangan atau kegiatan alam terbuka semakin marak dan mulai merambah semua kalangan. Semakin banyak yang mengenal dan mulai gemar melakukannya, bahkan sampai menggelutinya dengan begitu serius alias fanatik. Membuka lahan kerja melalui bidang ini atau menjadikannya sebagai lifestyle. Jelas tak dapat dipungkiri bahwa kegiatan yang tergolong elit dan mahal ini cukup menarik. Zaman bergulir sesuai perputaran waktu dan perkembangan teknologi juga tak mau tertinggal. Perannya dalam menunjang aktivitas ini semakin meningkat pula intensitasnya. Dengan adanya berbagai komponen-komponen pendukung lainnya, jadilah kegiatan alam terbuka menjadi sangat popular dikalangan masyarakat kita, bahkan menjadi salah satu cara untuk mengangkat derajat bangsa dan tanah air Indonesia tercinta. “ merah putih di puncak dunia”.
Nah, dalam perkembangan kegiatan yang penuh resiko dan tantangan ini, ada beberapa hal yang perlu kita tinjau dan menelaahnya secara lebih terperinci. Apa yang tersirat dalam kalimat tersebut adalah bagaimana konteks salah satu penggiat kegiatan alam terbuka ini. Adalah MAHASISWA PENCINTA ALAM yang selama ini dikenal sebagai salah satu organ yang menggebrak minat-minat kaum muda melalui kegiatan petualangan dan menyulap alam menjadi media belajar yang cukup efektif. Menciptakan berbagai inovasi kreatif dan sempat menghadirkan nuansa nasionalisme yang kental dan sempat mengacaukan rancangan-rancangan elit politik pada era orde baru ketika awal mula berdirinya. Tercatat pula dalam sejarah tokoh-tokoh yang merupakan muda-mudi berlabel Mahasiswa Pencinta Alam sebagai aktivis yang cukup berperan aktif dan berpengaruh pada zamannya. Cukup mengesankan sekaligus dan patut menjadi panutan. Namun, pada hakekatnya yang terjadi pada saat ini adalah nampaknya beberapa pergeseran yang cukup signifikan dalam memahami konteks Mahasiswa Pencinta Alam. Salah satu aspek yang menjadi alasan mengapa lahirnya statement sederhana ini adalah melirik pada sudut pencapaian dari sebagian besar organisasi-organisasi Mahasiswa Pencinta Alam di tanah air.
Berbagai prestasi telah berhasil ditorehkan. Beberapa program kerja yang bertaraf nasional cukup untuk membuat nama organisasi ini dilirik oleh media dan membuat pembaca berdecak kagum. Seperti yang telah tertera pada alinea sebelumnya bahwa ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi sebagai point penting dalam pergeseran interpretasi. Skala pencapaian beberapa Organisasi Mahasiswa Pencinta Alam tidak lagi berlandaskan pada sejarah lahirnya organisasi yang memiliki peminat diatas rata-rata ini. Tolak ukur prestasinya kini dihadapkan pada sejauh dan setinggi apa gunung tempat mereka mengibarkan bendera, sebesar apa ekspedisi berlabel internasional yang digarap, sedalam dan seluas apa goa dan samudera yang dijejaki, serumit apa tebing terjal yang didaki. Semua tidak salah, semua sah-sah saja dan tak ada pula larangan untuk itu. Namun, sementara prestasi diraih dengan semangat berkobar dengan darah-darah juangnya, hal kecil tentang kepedulian akan bangsa dan rakyat kecil mulai terabaikan bahkan terkikis perlahan hingga hampir lenyap sudah dari dinamika dan dialektika Mahasiswa Pencinta Alam di Tanah Air dewasa ini. Belum lagi bila dikaji pada sisi perilaku yang semena-mena terhadap alam semesta yang notabene menjadi ajang eksistensinya. Individu-individu tertentu tak mampu menjiwai hubungan simbiosis yang seharusnya melekat erat pada nadi seorang Mahasiswa Pencinta Alam. Skill boleh selangit, tapi sikap ketidakdewasaan tidak usah dikembangbiakkan pula.
Kemudian mari kita tinjau lebih jauh sudut kecintaan terhadap alam yang menjadi subjek utama mengapa berdirinya organisasi ini. Pendakian dan penjelajahan di alam terbuka marak dilakukan. Mirisnya, konteks mencintai alam sedikit berada pada koridor yang tidak tepat. Seperti yang dijelaskan tadi, bahwa mencintai adalah bukan sekedar hobby untuk menjalani dan melakukan, tetapi konteks mencintai adalah berasal dari jiwa dan pemahaman untuk mengerti akan alam yang semakin terkeruk, rusak dan tertindas. Tak usah ditambah-tambah lagi kerusakannya di tempat baru yang masih murni dan belum tersentuh. Jadi, mungkin saja suatu hari nanti dalam waktu dekat terjadi perubahan diksi dalam ranah organisasi Mahasiswa Pencinta Alam. Kata Pencinta akan disulap menjadi kata Penikmat. Sesungguhnya itu tidak perlu terjadi bila pemahaman akan pelestarian alam berada pada koridor yang tepat.
Terlepas dari persoalan cinta mencinta, sejenak kita coba melirik ke belakang dan membuka lembar sejarah tentang nasionalisme pergerakan mahasiswa orde baru. Tercatat rapi dalam sejarah bahwa aksi turun ke jalan yang mengecam kebijakan pemerintah pertama kali dilakukan oleh organisasi Mahasiswa Pencinta Alam yang menjadi pelopor lahirnya begitu banyak organisasi serupa. Ialah MAPALA UI yang berdiri pada tanggal (1953) oleh tokoh Soe Hok Gie dan beberapa tokoh-tokoh lainnya yang turut berperan. Sosok mahasiswa yang duduk di bangku kuliah fakultas sastra Universitas Indonesia ini kian menjadi tokoh yang sampai saat ini cukup melegenda dikalangan mahasiswa pencinta alam bahkan mahasiswa lain pada umumnya. Dari sepenggal sejarah ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa jiwa kritis dan nasionalis melekat erat pada tubuh organisasi berwatak keras ini beberapa waktu yang lalu. Apabila dibandingkan dengan realitas yang ada dalam konteks kekinian, dapatkah kita perhatikan sejauh mana peran dari organisasi Mahasiswa Pencinta Alam dalam merespon isu-isu nasional yang kian marak dan meresahan bahkan mengancam rakyat kecil nan sengsara di Tanah Air. Berat untuk mengatakan bahwa organisasi ini terlalu sibuk menata langkah-langkah untuk mengukir prestasi. Mungkin hal ini menjadi sebab tak ada lagi waktu yang tersisih untuk memikirkan salah satu dari tri darma perguruan tinggi ( pengabdian kepada masyarakat ) yang menuntut peran mahasiswa dalam berbangsa dan bernegara, berdemokrasi dan bersikap kritis akan isu yang berkembang. Meskipun tidak harus dilakukan dengan turun ke jalan seperti biasanya, campur tangan dari Organisasi Pencinta Alam dengan cara yang berbeda tetap kurang nampak. Hal inilah yang perlu dipupuk kembali dalam tubuh organisasi Mahasiswa Pencinta Alam yang mulai luntur oleh zaman.
Realitas yang tampak dalam ranah cinta alam kini, indeks prestasi meningkat tajam. Penaklukan puncak-puncak dunia setingkat Elbrus dan Aconcagua di berbagai belahan benua gencar dilakukan. Organisasi-organisasi berlomba-lomba mengibarkan bendera dan alhasil merah putih pun berkibar di puncak dunia oleh anak bangsa. Cukup membanggakan kita dalam hal prestis dan gengsi yang menunjukkan bahwa kita mampu berada selevel dengan para penggiat petualangan di belahan dunia. Sebagian besar mereka adalah mahasiswa yang tidak lain adalah mahasiswa yang tergabung dalam unit Pencinta Alam dari kampus-kampus di tanah air. Dibalik kesuksesan yang menyelimuti dunia petualangan ini, semoga intisari dari terciptanya Organisasi yang menjadi kebanggaan kita bersama ini tidak luntur dari apa yang mendasari langkah awalnya. Semoga kita masih mengenal baik bangsa ini, semoga kita tidak lupa untuk berjabat tangan dengan petani-petani tua yang memperjuangkan ladangnya dari tangan konglomerat, dan semoga kita tetap lestari bersama tumbuhnya rumput-rumput liar di halaman tanah air Indonesia.
Salam leontopodist!
Salam lestari!
Penulis : FAISAL B.A
NRA : E.103.09.L.A.89.FIB-UH
4 komentar:
hahahahhahaiiii....
hahhahaha
benarkah?
Wow.
Posting Komentar