sekilas ekspedisi manise 2011 ukm pa edelweis fib-uh
“ segala yang terjadi di bawah kolong langit, adalah urusan setiap manusia yang berfikir” ucap penulis ulung yang kini sudah kembali ke pangkuan ilahi, Pramoedya Ananta Toer. Jadi, selama masih ada disini, maka kurasa tak ada yang menjadi tembok penghalang untuk terus berjuang membangun kembali puing-puing kejayaan dari ruang kecil bertuliskan “ukm pecinta alam Edelweis Fib-Uh. Dari sini kami melangkah, disini pula kami diterpa ribuan bebatuan kerikil yang sedikit demi sedikit ingin merobohkan kekuatan. Jiwa persaudaraan terasa sedikit goyah, lantas dengan sigap kembali terikat dengan semangat juang yang tak pernah padam. Semoga semboyan dan sumpah anggota yang pernah kuucap, tidak luntur ditelan waktu dan tertiup badai berlalu. Sebagai bagian dari keluarga kecil ini, sebuah kewajiban yang kian menjadi tanggungjawab untuk selalu ada berjalan bersama dengan rekan-rekan seperjuangan yang punya status sama. Jangankan dalam roda organisasi, tapi juga mencakup semua aspek yang tercantum sebagai bentuk kesepakatan kami dalam musyawarah tertinggi dari organ kecil ini.
Ketika bunga abadi kami benar-benar tertabrak karang, satu persatu mulai kami persatukan. Memulai babak baru yang berorientasikan petualangan dan penelitian sebagai wujud keberadaan kami sebagai mahasiswa pecinta alam. Sebuah ekspedisi yang terencana ingin kami persembahkan untuk segenap keluarga fakultas, bahkan universitas berjuluk kampus merah ini. Mengawalinya memang bukan hal yang mudah, apalagi untuk saat-saat dimana badai masih terus mengguncang perahu kecil ini. Sempat terseok-seok membahas langkah awal dan bagaimana mentaktisinya, cukup membuat lelah juga pening yang berlebihan. Mulai membahas satu persatu kerangka ekspedisi dan akhirnya terciptalah sebuah nama yang terdengar cukup representatif untuk ekspedisi kali ini. “EKSPEDISI MANISE 2011” dengan tema eksplorasi tanah Maluku dengan bertualang dan berkarya. Berhubung destinasi dari ekspedisi ini adalah Ambon, Pulau Seram Maluku, maka atas dasar itulah kata Manise yang akrab menjadi sapaan tempat ini dipilih sebagai nama kegiatan. Bukan tanpa dasar memilih lokasi ini, tempat yang tidak begitu sering dikunjungi oleh kalangan masyarakat, bahkan jarang terdengar di telinga. Memiliki kearifan lokal yang berbeda, adat istiadat yang sedikit ganjil dan menyembunyikan beragam keindahan yang tak dimiliki oleh semua pulau yang ada di nusantara Indonesia.
Ketika bunga abadi kami benar-benar tertabrak karang, satu persatu mulai kami persatukan. Memulai babak baru yang berorientasikan petualangan dan penelitian sebagai wujud keberadaan kami sebagai mahasiswa pecinta alam. Sebuah ekspedisi yang terencana ingin kami persembahkan untuk segenap keluarga fakultas, bahkan universitas berjuluk kampus merah ini. Mengawalinya memang bukan hal yang mudah, apalagi untuk saat-saat dimana badai masih terus mengguncang perahu kecil ini. Sempat terseok-seok membahas langkah awal dan bagaimana mentaktisinya, cukup membuat lelah juga pening yang berlebihan. Mulai membahas satu persatu kerangka ekspedisi dan akhirnya terciptalah sebuah nama yang terdengar cukup representatif untuk ekspedisi kali ini. “EKSPEDISI MANISE 2011” dengan tema eksplorasi tanah Maluku dengan bertualang dan berkarya. Berhubung destinasi dari ekspedisi ini adalah Ambon, Pulau Seram Maluku, maka atas dasar itulah kata Manise yang akrab menjadi sapaan tempat ini dipilih sebagai nama kegiatan. Bukan tanpa dasar memilih lokasi ini, tempat yang tidak begitu sering dikunjungi oleh kalangan masyarakat, bahkan jarang terdengar di telinga. Memiliki kearifan lokal yang berbeda, adat istiadat yang sedikit ganjil dan menyembunyikan beragam keindahan yang tak dimiliki oleh semua pulau yang ada di nusantara Indonesia.
Pulau ini terbilang cukup jauh dari kota Makassar, dan begitu pula data yang terkumpul terlalu minim untuk melakukan perjalanan mencapai lokasi yang menjadi bagian dari rute, puncak Binaiya. Sebuah gunung yang menjulang tinggi di Pulau Seram, Maluku Tengah dengan ketinggian sekitar 3027 mdpl. Berdiri megah menantang di atas hamparan salah satu desa berjuluk Kanikeh, kaki gunung ini. Sebuah desa yang sarat akan budaya dan adat istiadat maupun kebiasaan yang kesannya sangat unik bagi kalangan yang tidak tahu menahu persoalan mereka. Menurut cerita dan berbagai informasi yang sempat kami dapatkan, terdapat beberapa hal yang patut untuk diketahui mengenai peradaban serta adat istiadat dari penduduk desa ini. Nah, karena itu kami sangat tertarik untuk sedikit melakukan pengamatan terhadap apa yang menjadi tanda tanya bagi kami tentang mereka. Sedikit ingin berkarya dengan tulisan agar apa yang kami dapatkan disana bisa menjadi bahan cerita serta pengetahuan baru bagi teman-teman di ruang lingkup sastra dan seisinya. Barangkali tidak sesempurna apa yang dilakukan oleh mereka yang lebih professional dalam berkarya, setidaknya ada yang akan menjadi kebanggaan bahwa kami juga bisa memperkenalkan budaya anak bangsa dengan tulisan tangan sendiri nantinya. Itulah salah satu misi yang menjadi target penting dalam ekspedisi ini. Usaha maksimal sudah mulai gencar dilaksanakan, materi-materi tentang kepenulisan dan dokumentasi yang akan mendukung validnya data sudah dipelajari. Begitu pula dengan penguasaan teknik berpetualang yang kian diperdalam sebagai bentuk persiapan matang menjajali tanah Ambon Manise. Semua agar kami tak kewalahan mengatasi kemungkinan terburuk yang barangkali dan mungkin saja akan menghambat pencapaian ekspedisi ini. Fisik dan mental prima kami bangun baik secara pribadi maupun berkelompok. Menangani masalah yang ada dengan manajemen yang terarah dan sesuai prosedur. Walaupun apa yang tertuang disini tidak semua berjalan semestinya, perlu saya tekankan bahwa usaha kami tidak sampai disini….
Mewujudkan peribadi yang tangguh akan hambatan coba kami bangun semaksimal mungkin. Persoalan yang kian menjadi faktor utama penghambat langkah awal bersumber dari pendanaan yang sangat tidak mendukung. Dengan estimasi yang telah tersusun rapi untuk segala hal, benda bernama uang dan lebih pantas disebut “dewa” selalu saja berontak tidak mau mengerti dengan kondisi. Sampai saat menjelang waktu pemberangkatan pun kami masih tersengal-sengal mengejar ketertinggalan. Terlalu besar dan jauh lebih besar dari kegiatan lainnya yang biasa kami selenggarakan. Dengan beberapa potong proposal yang disusun rapi sesuai konsep, kami menyebar mencari dimanakah nanti ada celah yang ingin berbagi dengan kami. Instansi baik pemerintah maupun swasta dijejaki dengan proposal yang sama. Semoga mereka mau mengerti dan tahu tujuan kami. Usaha mandiri kami lakukan, cukup untuk menghasilkan dana tambahan walau tidak mencapai target semestinya. Berusaha dan berusaha… terus berusaha! Kupikir ada yang indah nantinya ketika sebuah perjuangan terasa berat dan melelahkan, persis seperti mendaki gunung yang terbayar dengan indahnya alam dari ketinggian. Lelah pergi satu persatu berganti semangat baru dan senyum lebar tanda puas dan kebanggaan.
Lima bulan bukan waktu yang cukup untuk persiapan sebuah ekspedisi. Waktu yang terkesan sempit ini memaksa kami untuk berfikir ekstra menyelesaikan pekerjaan rumah yang belum tuntas. Seperti dikejar waktu, terkadang manajemen amburadul dan terjadi crossing job, hal biasa dalam organisasi tapi tidak dalam ekspedisi. Entah berapa lembar kesalahan teknis yang dapat dibukukan jika harus dicatat satu persatu. Belajar bertanggungjawab dan disiplin diri, menjadi patokan utama sebuah ekspedisi. Ketika tak ada yang mampu diterapkan, maka tak ada pula arti dari semua susah payah ini. Memang makan hati, tapi sangat berarti. Tingkatan pendidikan tertinggi dalam regulasi dunia kepencintaalaman, seperti termaktub dalam kitab kurikulum rumah kecil edelweiss, bahkan semua organ pencinta alam. “edelweiss punya anggota, edelweiss punya cita-cita”……tak ada lagi unek-unek yang bisa dilontarkan untuk menanggapinya, hanya tekad dan semangat yang akan kembali mewujudkan dan merealisasikan sepenggal kalimat yang tertera pada sampul buku tebal identitas anggota. Cukup membuat hati tergerak untuk memegang erat panji kehormatan singkat itu, meski hanya sebaris saja.
Tak dapat kami pungkiri bahwa pondasi kokoh ekspedisi ini sempat retak karena beberapa personel yang tidak aktif memberikan sumbangsih tenaga maupun fikiran. Mentaktisi hal itu, upaya dilakukan dengan sedikit perbincangan dalam rapat rutin mengenai perkembangannya. Tak ada jalan lain lagi selain tetap melanjutkan perjalanan panjang ini, walau hanya dengan yang tersisa saja. Tekad semangat yang sudah bulat sekali lagi tidak menyurutkan niat menjejakkan kaki di pelataran tertinggi tanah Ambon Manise nun jauh di sebelah timur Indonesia. Rela tidak duduk mendengarkan sang dosen berceramah panjang, hanya untuk setumpuk pengalaman dan pembelajaran yang tidak semua orang pernah merasakan betapa hebatnya petualangan. Begitu indah dan semarak untuk dikenang, bahkan membawa pulang segudang cerita yang membuat mereka pada tak sabar menanti kelanjutannya, ibarat sinetron saat aku minta izin buang air kecil. ….. bersambung. Berlari memutari pelataran kampus merah bukan rute yang pendek untuk dilalui. Namun rute inilah yang menjadi santapan kami di sore hari agar fisik tetap terjaga dan semakin membentuk lekukan pada betis. Sangat melelahkan, peluh berhamburan di sekujur tubuh dan membuat tubuh terasa lemas di malam hari, tapi sangat bugar di pagi hari jika tidak begadang. Tiga kali dalam seminggu selama kurang lebih empat bulan, barangkali cukup membuat fisik kami tergenjot dan rasanya sudah layak untuk dibawa melintasi belantara menuju puncak Binaiya. Apalagi sering pula disertai dengan latihan berpola sehabis jogging, seperti push up, sit up dan back up, bahkan tidak jarang dilanjutkan dengan pull up dan bouldering bagi yang menyukainya. Seperti itulah gambaran singkat semaraknya perjuangan teman-teman yang masih punya tekad untuk berekspedisi. Sementara di lain tempat dan waktu, ada pepatah yang tercipta “ekspedisi adalah hidup itu sendiri”. Walau rasanya sulit dimengerti, kami percaya bahwa itu benar dan kami ada untuk ekspedisi ini. Selalu berdiri tegak dengan semangat yang berapi-api. Tampak seperti sang puteri bunga abadi edelweis.
Pemberangkatan semakin dekat dan semakin terasa dikejar-kejar waktu akibat persiapan yang masih menyisakan persoalan. Ekspektasi yang menjadi target benar-benar kewalahan dipenuhi. Langkah taktis dan saran yang bertubi-tubi terus dicari. Sedikit bisa mengatasi beberapa persoalan yang masih bersikeras. Kesannya seperti bermain water tower pada permainan out ward Bond. Terus-terusan mencari lubang dan menutupnya walau masih ada air yang terus mengucur pada lubang lainnya. Hebat dan sangat menantang mental anak muda. Bagi yang tak punya kekuatan mental prima sudah pasti akan rubuh tercekik problema yang terus menusuk sampai membuat panas kepala ini. Urusan-urusan lain yang menjadi kebiasaan di kampus terabaikan sedikit demi sedikit, akibat waktu dan tenaga yang berpihak pada satu sisi.. EKSPEDISI MANISE. Tak bisa dipungkiri kalau memang makan hati terus-terusan terjadi bahkan sempat menyisakan konflik antar personel ekspedisi. Tapi tidaklah berlanjut sampai pada jenjang yang lebih jauh.
Sekian lama bergelut dalam hal persiapan, tersisa beberapa hari lagi kami akan berangkat menuju tanah Ambon. Tiga hari telah kami gunakan untuk bersimulasi seadanya. Mungkin belum mencapai tahap yang persis sama dengan jalur pendakian binaiya, tapi ada sedikit penyegaran untuk penguasaan materi yang mengisi kepala ini. Rapat kembali digelar pada minus enam hari pelepasan, membahas segala hal yang masih harus diselesaikan termasuk persoalan yang terkecil sekalipun. Seketika semangat terasa berkobar-kobar mendengar kata memuncak terlontar dari kalimat yang terucap. Rasanya tak ada lagi keraguan untuk membawa nama keluarga kecil ini ke atas sana. Mengibarkan bendera kecil kami di bawah panji-panji kekuasaan ilahi di tanah yang tinggi. Tersenyum dan kepakkan sayap-sayap yang telah letih berjuang melawan hujan kerikil kemarin. Menatap sang alam terbentang luas di bawah puncak Binaiya , dan meraih asa yang akan kami bawa pulang untuk sebuah persembahan sederhana berupa karya-karya petualangan. Biar tak segampang berkata, keyakinan sudah bermukim dalam dada kalau beberapa waktu lagi, segelintir anak muda berlatar sastra akan tersenyum puas di balik kabut petang di pelataran tertinggi Pulau Maluku. Semoga tidak hanya sebatas wacana yang terus menjadi bualan saja.
Tak ada hal yang paling mendebarkan selain hari pelepasan yang sudah tiba. Rasanya, detak jantung kian melaju entah karena apa. Padahal, tantangan masih jauh di depan mata. Masih sekedar khayalan dan ilusinasi belaka. Gambaran sebuah lingkaran manusia terpampang jelas sambil menanti kedatangan sang Pembantu Dekan Tiga fakultas Ilmu Budaya-UH. Semua sibuk dengan pertanyaan masing-masing, sampai kami jenuh menjawab pertanyaan yang sama terlontar dari mulut yang berbeda. Melelahkan dan membosankan mendengar celoteh mereka yang ingin mengikuti upacara pelepasan. Ribut dan tak mau berhenti menanyakan apa saja, seolah-olah juga menjadi bagian dari tim dan akan menyusul beberapa hari lagi. Sudahlah! Mulai saja upacaranya.
24 Februari 2011
Bukan lagi sebuah cerita, tapi benar-benar realita bahwa kami sudah di ambang pintu menuju tanah Maluku. Carrier barbaris di depan pemiliknya, lantas berpose dengan latar banner megah bertuliskan nama tanah itu. Kemeja krem melengkapi tubuh personel ekspedisi yang sudah siap dengan resiko di depan. Tak ada beban lagi yang harus bersarang di kepala, hanya satu tujuan dengan tekad yang sama. Jalan masih jauh, dan kami harus mengucapkan selamat tinggal buat kota dan teman. Di pelataran pelabuhan , kami berkumpul bersama menikmati malam menunggu klakson tanda berangkat bergema dari corong dek teratas kapal itu. Kapal yang dipenuhi lampu-lampu kecil di sekeliling, ibarat ingin menghibur siapa saja yang ditinggal pergi oleh penumpang kapal.
24 maret 2011……
Sirine panjang bergema tiga kali di pelabuhan Makassar, petanda bahwa kapal akan segera meninggalkan laut Makassar menuju Ambok Maluku. Kami kini sudah berada pada titik awal menuju pencapaian ekspektasi dari EKSPEDISI MANISE. KM Gunung Dempo tertera pada dek teratas, disinari terang cahaya lampu kuning membuatnya terlihat megah besar di depan mata. Orang-orang berbaris di pinggiran dek, melihat-lihat awak yang sibuk menarik sauh dan sebagian pula menikmati menikmati cahaya metropolitan Makassar yang kian menjauh. Deru mesin menggetarkan kaki yang menapak pada dasar kelas ekonomi. Ada ragam suku dengan gaya khasnya. Masing-masing berkumpul dengan sesamanya sambil sesekali menyapa yang lain dengan senyuman. Kali ini, domunan prawakan Indonesia Timur yang terlihat, karena memang tujuan benda terapung ini adalah kawasan timur dari nusantara sampai di Sorong Papua. Katanya, kapal ini baru dua tahun beroperasi. Pantas saja fasilitas di dalam kelihatan masih baik-baik saja. Jauh berbeda dengan kapal-kapal yang lain. Sebuah keberuntungan bagi kami yang kebetulan berada pada dek kelas ekonomi. Cukup nyaman melabuhkan tubuh dan carrier besar pada kasur yang masih empuk terlihat.
Terayun-ayun dalam dek pening rasanya terkadang ingin muntah. Belum lagi di sekeliling ada ragam model yang sulit ditebak, apakah menggoda atau sebaliknya. Dugaanku, barangkali sedikit menggoda tapi terasa memuakkan. Norak dan berlebihan. Bukan tak senang melihat keadaan, tapi sekedar ingin menuangkannya dalam bait kalimat. Musik terdengar dimana-mana, riuh karena beragam genre yang terdengar. Cukup membuat pening bertambah parah jadinya. Masih dengan kostum tadi malam, kami berbaris menyandarkan punggung pada carrier. Masing-masing terlarut dengan aktivitasnya dan ditonton orang-orang yang sedikit heran melihat packingan yang besar dan aneh. Hanya sedikit yang tahu bahwa kami sedang dalam perjalanan untuk mendaki gunung. Perasaan bercampur aduk, dingin dan lapar. Tak ada makanan yang disiapkan pihak kapal. tertera jelas di bagian belakang tiket dengan stempel resmi dari PT PELNI. Untung saja ada sedikit persiapan untuk mengganjal perut yang keroncongan. Selebihnya kami harus merogoh kocek sendiri untuk mengalas perut. Menghabiskan waktu dengan menikmati angin laut di anjungan sambil meneguk kopi hangat dari café kecil milik besi terapung ini. Sesekali mengabadikannya dengan kamera mungil sebagai dokumentasi perjalanan EKSPEDISI MANISE. Selama kurang lebih tiga puluh lima jam aktivitas itu berputar-putar. Ke atas dan ke bawah, tidur dan bercerita. Sedikit monoton tapi kami tetap menikmati perjalanan ini. Malam terakhir di kapal ini kami habiskan dengan berbibcang-bincang kecil di dek tujuh. Celakanya, café sudah tidak buka lagi dan hanya ada beberapa gelas sisa yang masih setia melawan angin laut banda. Jadilah kami harus memesan kopi dengan harga yang tidak wajar dari dek bawah, sebuah kantin kecil yang lumayan lengkap. Satu persatu orang-orang yang sedari tadi asyik bermain domino mulai meninggalkan dek tujuh. Begitu pula beberapa pria paruh baya yang ceritanya selalu tentang bisnis, melangkah perlahan tanpa pamit pada kami menuju ruangan masing-masing. Lampu tepat di atas kepalaku, menerangi notebook cokelat yang baru kubeli sebelum berangkat. Makin jelas garis-garis biru pada lembarannya, menanti goresan-goresan tanganku malam ini.
26 februari 2011
Pagi cerah diterobos kapal besar ini dengan kecepatan entah berapa knot. Terlihat dari jendela bundar, percikan gelombang air asin berbuih putih meriak di belah besi. Kami tiba di pelabuhan Yos Soedarso pukul 10.00 WIT. Tampak kesibukan pelabuhan ini sama dengan pelabuhan-pelabuhan yang lain pada umumnya. Dari tempat pertama menginjakkan kaki di pulau Ambon, kami menuju Universitas Pattimura dijemput teman dari MATEPALA UNPATTI yang memang sudah dikoordinasikan sebelumnya. Angkutan umum menjadi pilihan kami menuju Poka, seberang teluk Bakuala tempat dimana UNPATTI berdiri megah berjejer dengan beberapa fakultasnya. Carrier diatur sedemikian rupa dan kami dibawa mengelilingi pesisir pantai berputar mengelilingi teluk itu. Sampai di UNPATTI, tepatnya di fakultas teknik, secretariat MAPALA UNPATTI aku dan ketua ekspedisi, TOM, harus kembali lagi ke Kota Ambon mengurusi segala administrasi di kepolisian dan proposal untuk Gubernur Maluku. Sementara teman yang lain, fuad, Reski dan Uun mulai mengakrabkan diri dengan teman-teman MATEPALA. Panas membakar wajah ketika kami harus melewati pelataran kota, gong perdamaian dunia dan patung pattimura. Rasanya menggila dan keringat mengucur deras. Tak peduli dengan keadaan, aku dan Tom terus berjalan menyelesaikan semua yang masih tersisa. Sejenak pula kami berteduh di bawah rumah makan kecil mengisi perut yang baru mendapat asupan sejak malam tadi. Selesai makan, kami kembali harus menyebrangi teluk Bakuala menuju UNPATTI. Tapi kali ini, kami memilih menggunakan jasa perahu katinting, istilah yang dipakai di Ssulawesi untuk perahu seperti itu.
Jelang malam, kami istirahat tanpa banyak beraktivitas. Tapi, sebagai pimpinan operasi aku masih dalam bingung soal kepastian dana yang dibutuhkan. Kami melakukan evalusai singkat membahas persoalan itu. Belum habis masalah finansial, muncul pula masalah baru tentang waktu. Manajemen mulai sedikit amburadul, padahal scenario sudah tertata rapi sebelum samapai di tempat ini. Kesepakatan kian berubah menjadi perbincangan baru yang a lot dan menyisakan problema yang menggantung. Sedikit banyak akibat informasi baru yang kami dapatkan tentang biaya yang digunakan untuk memasuki wilayah pedalaman pulau seram. Antisipasi dan perkiraan berbenturan keras. Finansial yang kami siapkan sangat kontra dengan informasi baru itu. Kemudian muncul pula dilemma yang tiba-tiba btentang siapa yang harus mnyertai tim kami melewati jalur menuju kaki Binaiya. Kaki gunung yang dihuni oleh masyarakat yang kian tercemar dengan pemikiran tidak sesuai dengan semestinya. Tempat itu seakan-akan menjadi momok menakutkan bagi kalangan Mahasiswa pencinta Alam yang keterbatasan finansial. Untuk mendaki gunung Binaiya, sebuah tim harus menyiapkan dana yang jumlahnya tidak sedikit. Katanya untuk kepentingan desa, dan itu sangat bertentangan dengan pemikiran dan persiapan kami. Kaki gunung Binaiya berdiri di Desa Kanikeh yang kini menjadi loket pembayaran “tiket” mendaki gunung Binaiya. Kesannya terlalu mengada-ngada dan sangat tidak rasional. Para pendaki harus merogoh kocek dalam-dalam hanya untuk menginap dan menandatangani buku tamu sebagai wujud aktulisasinya. Harga yang setara dengan hotel metropolitan untuk semalam dan tentunya tidak dilengkapi apa-apa, hanya segulung tikar dan ruangan sempit. Soal itu bukanlah masalah bagi kami, tapi dalam hal ini bukan lagi nilai petualangan yang terbit, melainkan kekecewaan yang meluap mengapa otak mereka harus dicemari dengan rupiah. Untuk instansi dan kelompok yang sempat menghamburkan uang pada kaum terbelakang ini demi mendapatkan nilai budayanya, kami haturkan maaf sebesar-besarnya bahwa cara itu tidaklah benar. Bukan mengintimidasi atau menyalahkan, tapi kami tak ingin kalau sampai setiap penduduk kaki gunung sudah menganggap bahwa pendaki gunung sumber pendapatannya. Karena kurangnya perhatian, jadilah Mahasiswa Pencinta Alam yang terjebak dalam aksi liput-meliput ini. Para petani dan pemburu yang dulunya selalu menyapa dengan senyum lembut kini diteror menjadi monster penghisap rupiah. Tak perlu diungkap terlalu jelas, tapi yang perlu diperhatikan adalah jika ingin berpetualang jangan sisakan kesulitan bagi petualang berikutnya!
Dari hari ke hari, kami terlunta-lunta tak jelas ke arah mana fikiran melayang. Dilema benar-benar memuncak dan menjadi bagian dari perjalanan ini. Hal-hal kecil yang notabene tidak akan menjadi penghalang justru menjadi bebatuan karang yang sulit terpecahkan. Tak ingin terus-terusan terdampar, kami mencoba mentaktisi dengan segala cara. Mengalir mencari celah menembus batas sampai tujuan bak air di kali kecil. Filosofi sederhana ini bangkitkan semangat kami yang sempat babak belur dihimpit cerita-cerita teman-teman yang kebetulan lebih dulu menjejaki wilayah Seram. Psikologis tiba-tiba terkuras habis. Kering kerontang membuat kelam kabut mengatasi adrenalin yang terpacu cepat sekali. Walau sempat dibelenggu persoalan pelik dan alot beberapa hari, sekuat tenaga kami mencoba untuk saling menguatkan dan menetralisir “racun-racun” yang membebani fikiran. Ditambah dorongan semangat dari teman-teman Mahasiswa Pencinta Alam di Ambon, semangatku bersama empat rekan seperjuanganku tergenjot dan kembali menyalakan api perjuangan.
01 maret 2011
Setelah melalui proses yang cukup menguras otak, kami memutuskan untuk tetap melangkah dan mengangkat kaki walau harus dengan modal yang tak sampai. Melangkah maju dan tetap bijak mengambil tindakan dan solusi terbaik. Bermodalkan finansial yang memprihatinkan, tim EKSPEDISI MANISE berangkat ke Pulau Seram. Kami ditemani oleh dua organ Pencinta alam, MATEPALA UNPATTI dan MAHIPALA IAIN AMBON. Totalnya ada empat orang ditambah pula dua penduduk local asal Seram Utara yang juga menjadi satu-satunya harapan kami untuk bisa mengatasi masalah di kaki gunung terkait finansial. Saat itu kami sangat yakin bisa berdiri di puncak singgahsana Binaiya yang mistis ini. Menuju Pulau seram, kami kembali harus menyebrangi lautan dengan ferri di pelabuhan Liang menuju pelabuhan Wai Pirit. Di situ pula kami dihibur pesona indahnya pantai Ambon saat berdiri di anjungan ferri. Pantas saja disebut Ambon Manise. Malam tiba dan menjemput kami di pelabuhan wai Pirit. Dari situ, kami masih harus menempuh perjalanan setengah hari menuju Halte Huahulu, garis start menapaki belantara Seram.
03 maret 2011
Pagi itu, sesuai dengan perencanaan kami bertemu dengan penduduk local yang akan menemani. Waktu itu, kami disuguhkan daging rusa dari rumah mereka. Mungkin hasil buruan beberapa hari yang lalu. Cukup menjadi sumber tenaga di pagi hari untuk mencapai target dua desa yang menjadi gerbang jalur utara Gunung Binaiya. Jauh, berat, berlumpur, letih, pegal dan lain-lain. Itu yang kami rasakan pada hari perdana menjejali hutan tropis Pulau Seram yang lebat belum terjamah. Hutannya memang lebat dan pantas disebut belantara. Menyusuri sungai yang luas dan bercabang-cabang membuat nyali tertarik ulur memperpecepat denyut jantung. Belm lagi jalur yang sudah agak buram dan sedikit luput dari ingatan sang pemandu kami. Basah menggerayangi kaki sampai di pinggang. Sedikit membuat tidak nyaman untuk tetap melanjutkan perjalanan ini. Jelang maghrib, saat tenaga sudah tinggal secuil, kami tetap melangkah perlahan mencari tempat yang cocok mendirikan tenda, wai samata. Malam tiba dan kami disibukkan dengan urusan tenda dan makan malam, sambil di terpa hujan yang tidak terlalu deras. Akhirnya bisa beristirhat juga di tempat ini setelah seharian berjalan dan melewati dua desa yang dihuni masyarakat asli Seram Utara. Mereka berperawakan hitam dengan rambut keriting, sedikit agak menyeramkan karena saat bertemu jarang yang berkenan untuk senyum menyapa. Hanya menatap tajam dan sesekali mengangguk tanda memberi izin untuk kami lewat. Semua wajah yang sempat kami sapa, hanya tunduk dan menatap bengong layaknya orang yang keheranan. Ada juga yang hanya menatap diam tanpa ekspresi. Sangat aneh rasanya berjalan sambil diperhatikan mereka. Gigi mereka hitam akibat sirih yang sudah menjadi candu bagi mereka.
Malam itu, setelah selesai menikmati makan malam, kami melingkar di atas tanah yang becek. Hanya bisa berjongkok di depan lilin besar berwarna merah sebagai penerangan kami. kami mencoba untuk menyatukan persepsi dan pendapat dengan semua yang ikut dalam perjalanan ini. Sesuai perencanaan awal tentang kenekatan kami berangkat tanpa memenuhi persyaratan finansial di kaki gunung, kami rembukkan bersama. Mencari solusi dan mengatur strategi jitu agar bisa lolos dari perundingan dengan sang bapak saniri ( petinggi desa ). Setelah semua sudah satu arah pandang dan saling mengerti posisi, masing-masing kembali ke dalam tenda dan istiahat.
04 maret 2011
Dari wai Samata, tim kembali menempuh medan yang lebih parah lagi. Kami berangkat pagi dengan alasan bisa mencapai Desa Kanikeh lebih cepat. Kalau kemaren medan panjang dan datar, kali ini, berubah menjadi trekking berat melelahkan. Tersengal-sengal nafas kami dan terkadang diiringi keluh kesah dalam batin kecil. Jauh tak kunjung tiba. Terkadang harus jatuh tenggelam dalam lumpur sampai sepatu hilang dari pandangan. Desa kanikeh menjadi terlalu indah pada waktu itu, sangat dirindukan karena jauhnya yang melebihi target. Ingin cepat-cepat direngkuh sejuk desa itu, damai dan terlelap dalam pelukannya. Beberapa bukit dijajali, banyak sungai di seberangi, jutaan pohon besar dan kecil menatap langkah-langkah itu dan hanya diam dengan sambutan hangatnya. Telapak membekas dan sisakan penat di kaki, lumpur merengek-rengek ingin menempel sejauh manapun, menambah beban yang sedari tadi mulai menjengkelkan.
Sekitar pukul lima sore itu, kami memasuki desa Kanikeh. Tampak pula binaiya yang menjadi latar belakang desa itu. Megah berdiri manantang, membuat semangat menyala-nyala ingin berdiri di atas sana. Kami beristirahat di rumah bapak saniri negeri malam itu. Suasananya agak tegang karena kami harus melewati malam dengan perdebatan yang alot. Dua teman yang memang masih berdarah lokal Kanikeh menurut marganya mencoba bernegosiasi secara persuasif. Semua hanya diam dan hanya mendengar apa yang mereka perdebatkan sambil dalam hati berdoa semoga hati petinggi desa ini luluh dan mau memberi izin pada kami memuncak di Binaiya tanpa biaya yang besar seperti yang baru saja gempar di kalangan Pecinta Alam Ambon. Jumlah yang luar biasa bagi kami yang tidak biasa dengan hal seperti itu. Tak pernah kami dapatkan permintaan yang melewati batas, bahkan memang tidak ada biaya sedikit pun kecuali biaya pendakian. Alhasil, sekian jam berdebat dengan beberapa petua adat kampung, mereka menemui titik terang. Harga disepakati dan mulailah babak baru perbincangan mereka. Bukan lagi berkutat pada uang dan uang, tapi beralih pada keluhan-keluhan dari mereka yang merasa dianaktirikan oleh pemerintah. Hal seperti ini sudah biasa bagi kami kalangan mahasiswa. Kaum pedalaman memang sering berbagi keluh kesah mereka soal perhatian pemerintah. Kapan pemerintah bisa tahu keadaan rakyatnya sendiri jika hanya berputar-putar di metropolitan menghadiri acara silih berganti mengundangnya sebagai yang terhormat. Hati terasa tersentuh kala orang-orang yang jauh dari akses ini mengadu dan sepertinya salah tempat. Kami hanya bisa sebatas mendengar dan mengiyakan. Semoga saja ada yang berubah dari negeri ini agar rakyatnya tidak selalu berkeluh kesah tentang penderitaannya. Biar nusantara tahu bahwa di negeri ini yang ada bukan hanya kaum kota metropolitan yang sarat akan modernisasi dan gengsi, tapi masih banyak kaum yang belum mendapatkan apa yang selayaknya.
05 maret 2011
Pagi hari, rumah yang menjadi tempat menginap kami menjadi ramai. Banyak warga kampung yang dating untuk menyaksikan upacara adat dan kesibukan kami sebelum mendaki Gunung Binaiya. Saat petua adat sudah tiba, sehelai kain merah dan sepiring sirih dan kapur disiapkan istri bapak saniri. Tokoh adat yang sudah berumur itulah yang melepas kami menuju puncak binaiya. Kami melingkar di bawah kain yang tergantung di atas. Sementara piring berisi sirih dan pinang diletakkan di tengah lingkaran kami. petua adat memegangi kain merah dan mulai berteriak-teriak denga bahasa yang sedikit pun tidak kami mengerti apa yang diucapnya. Katanya, dia sedang memanggil roh leluhur mereka untuk dimintai perlindungan agar perjalanan kami kelak bisa selamat tanpa marabahaya yang mengancam keselamatan. Setelah meracau beberapa menit, kain merah dilepas lalu diletakkannya kain itu di atas kepala kami satu persatu. Di tekan sembari mengucapkan sesuatu, dan masih tak kami mengerti apa yang keluar dari mulutnya itu. Kami hanya terhenyak dan melongo. Pinang yang ada di piring di kunyahnya. Celakanya, kami juga diharuskan untuk mencicipi pahitnya sirih dan pinang itu. Raut wajah serta merta mengerut saat benda itu menyentuh lidah, sangat pahit dan rasanya jelek. Katanya itu untuk keselamatan kami disana. Kami mengangguk apa saja yang diucapakannya. Jam Sembilan pagi itu, guide yang kami sewa mulai melangkah cepat. Sulit terkejar dan kami setengah mati mendapatkan jejaknya. Begitu seterusnya sampai pada sore hari di camp – 1, Wai Huhu. Dia hanya meninggalkan jejak dan kami mengikuti dari belakang. Tanpa alas kaki, langkahnya ibarat tidak sedang menjejaki medan menanjak. Sangat cepat dan jeli akan lubang dan lumpur. Kami memaklumi itu karena memang dia terbiasa berjalan cepat dan tenaganya memang sudah bersahabat dengan medan. Sore itu, kami diguyur hujan. Dingin mulai menusuk dan membuat gemetar tubuh menembus wind breaker di badan. Trekking yang cukup berat sedikit dapat menghilangkan hawa dingin yang merasuk. Jemari mulai berkerut dan kaki terasa kaku, ingin sekali cepat-cepat melangkah dan berganti pakaian di dalam hangatnya tenda. Kami tiba di saat maghrib sudah menjelang, dan malam sudah mulai turun menutupi cahaya terang dari barat. Nikmatnya bersempit-sempit di dalam tenda. Rasa lelah yang tak terbendung kembali mengantar kami melihat mentari esok hari dimana kami harus bertempur kembali. Bertempur dalam summit attack menuju puncak Gunung Binaiya. Hari ini adalah hari yang paling mengisi semangat kami. Raut wajah cerah karena semangat dibalut oleh keletihan yang luar biasa tampak pada wajah tim ekspedisi manise. Kami memang letih dan penat. Letih memikirkan persoalan yang tersisa dan penat merajai tubuh saat mendaki.
06 maret 2011
Selesai sarapan dan packing, kami sejenak menghangatkan tubuh di bawah terik matahari yang kebetulan sangat beruntung bisa menembus vegetasi lebat belantara gunung ini. Setelah merasa enak, kami pun mulai melangkah dengan semangat besar mengingat puncak yang sudah kian dekat dengan telapak kaki. Sampai pada batas vegetasi sekitar satu kilometer menuju puncak, punggungan tertinggi tampak dari balik kabut tebal. Megahnya bangkitkan semangat segera memijak dan menyentuh tanah dinginnya. Vegetasi sudah mulai mengecil, yang tampak kini hanya paku-pakuan dan pohon-pohon palm yang berjejer menghiasi lereng punggungan. Lembahnya tampak terbuka dan tertutup silih berganti, terkadang pesisir pantai di bawah sana terbentang menghibur kelelahan kami. sedikit demi sedikit kami terus melangkah menuju tanah yang lebih tinggi. Semakin dekat tanjakan semakin menggila dan benar-benar menguras tenaga. Medannya yang terbuka membuat angin sangat mudah merubuhkan tubuh yang sudah lemah. Belum lagi medan berpasir yang mengharuskan kami berkonsentrasi memilih pijakan yang benar. Kabut di sisi kiri menutupi lembah dalam yang menganga lebar di punggungan terakhir. Sedikit membuat ciut nyali melangkahkan kaki di lereng itu.
Sekitar pukul 14.00 WIT, aku menengadah menatap awan yang tidak berwarna biru. Aku berdiri pada ketinggian 3027 mdpl Pulau Seram Maluku Utara disusul empat anggota tim ekspedisi manise 2011 dan tim pendukung. Hari ini, 06 maret 2011 UKM PA EDELWEIS FIB-UH memuncak di batas vertical Pulau Maluku. Wai Puku, istilah yang sedari dulu melekat pada puncak Binaiya karena disitu ada genangan air abadi menurut guide kami. Ada pula yang berkata air itu adalah sisa air asin saat masih tenggelam di zaman sebelum zaman es. Tapi, entah mana yang benar yang jelas bentuknya persis seperti danau kecil yang menjadi sumber air di puncak ini. Angin menghantam kami pada waktu itu, hujan tiba-tiba mengetuk-ngetuk flysheet yang sudah dibentang. Baru reda setelah kami selesai makan siang, dan kami mengambil waktu itu untuk berpose dan mengabadikan momen-momen puncak yang membuat senyum terukir indah. Banner kami bentang bersama. Sedikit sulit karena angin yang terlalu kencang. Dibantu oleh tim pendukung dari MAPALA Ambon, momen itu diabadikan dalam potret dan video durasi singkat sebagai wujud dokumentasi kami. Atribut organ melekat di tubuh sementara bendera kuning UKM PA EDELWEIS FIB-UH berkibar dalam genggam tangan-tangan kami. semua tersenyum seperti tak pernah ada susah untuk bisa menapak disini. Dingin yang keterlaluan membuat kami tak bisa berlama-lama. Kami kembali harus turun ke samping danau kecil Wai Puku dan membalut tubuh dengan sleeping bag. Nikmati malam di puncak ini bagiku punya nilai tersendiri bagi peribadi yang merasakannya.. Anginnya penuh arti dan hawa sejuk menusuk sampai ke hati seraya mengajak jemari menghasilkan karya-karya terindah dalam goresan pena…. Perjalanan ini belum berakhir, kawan!
07 maret 2011
` pagi – pagi sekali kami sudah bersiap, memasak dan packing untuk melaju ke kaki gunung. Jarak pendakian yang kami tempuh selama dua hari perjalanan kali ini akan ditekan menjadi sehari karena perjalanan tidaklah sesulit pendakian yang butuh istirahat lebih. Hanya saja, otot-otot yang kemarin sudah terbiasa dengan medan menanjak mulai terasa sakit, menyesuaikan dengan medan baru berupa penurunan curam menuju tempat yang lebih rendah. Paha terasa sakit dan lutut seperti ingin beranjak dari posisi. Kami kembali melalui jalur yang telah dilalui. Beberapa titik masih sempat terekam dalam otak., persis ketika melaluinya beberapa hari yang lalu. Beberapa teman dari tim pendukung sempat tertinggal akibat sakit pada bagian lutut menyiksa membuat langkah menjadi sedikit lamban. Sore menjelang senja menyambut kedatangan kami di Desa kanikeh, tempat dimana kami pernah mencicipi pinang dan sirih yang rasanya menyakitkan. Dari Kanikeh, kami dihibur panorama Binaiya senja kala. Tampak puncaknya diselimuti kabut dan sebagian masih melirik tajam ke segala penjuru. Di rumah yang sama, kami disuguhi singkong rebus atau kasbih dalam bahasa lokal. Ada juga patatas (ubi jalar) yang masih hangat menambah gairah menikmati makanan tradisional ini.
Malam hari, malam hari kami menyempatkan diri menuntut jawaban-jawaban dari sang bapak saniri melalui pertanyaan-pertanyaan singkat seputar budaya lokal. Mulai dari hal yang jelas kelihatan sampai pada mitos serta legenda yang kesannya terkadang tidak rasional bagi kami. Walau begitu, aku yang terlanjur merasa tertarik dengan cerita mistiknya terus saja bertanya antusias menanti setiap kata yang keluar dari mulutnya. Kucatat rapi dalam notebook kecilku dan akan kujadikan koleksi-koleksi budaya lokal yang sempat kami rekam dalam perjalanan panjang ini. Nantinya akan kami sampaikan pada mereka di luar sana bahwa ternyata masih banyak rahasia tentang budaya tersimpan rapi di balik nusantara Indonesia.
08 maret 2011
Sekitar jam setengah sepuluh pagi, tim Ekspedisi Manise mulai berjalan melalui jalur yang sama. Kembali menempuh jarak dengan arah berlawanan menuju titik awal seminggu yang lalu. Dua hari kami habiskan untuk sampai ke halte Huaulu( titik awal ). Kali ini kami tiba lebih cepat dibandingkan degan waktu tempuh pada saat berangkat. Mungkin karena semangat yang meluap-luap untuk kembali menikmati tiupan angin dari pulau seram saat duduk santai dalam bus. Ingin rasanya cepat-cepat melihat ramainya kota dan menikmati angin pantai pulau Ambon. Terlebih lagi suasana Pulau Sulawesi dan semua yang ada padanya sudah lama ditinggal pergi.
09 maret 2011
Tiba di halte huaulu, (jalan arteri pulau Seram), kami tidak langsung menyeberang ke pulau Ambon. Justru kami berbalik arah menuju ke Seram bagian Utara. Sampai di Desa Wahai yang merupakan kampung halaman dari dua orang tim pendukung, Ua (nama panggilan) dan Aman yang sempat ikut dalam pendakian. Tempatnya di pesisir pantai yang dipenuhi pohon-pohon kelapa menjulang tinggi. Disana, kami menyempatkan diri membenahi peralatan dan pakaian, kemudian kami disuguhi makanan khas Maluku “pappeda”, serta kelapa muda yang terlalu banyak. Mereka dan sanak saudaranya begitu ramah dan sangat peduli dengan keberadaan kami selama di desa bernama Wahai ini. Sore hari, kami dibawa berjalan-jalan di sekitaran kampung, termasuk sebuah goa yang sangat elok untuk ditelusuri. Disamping itu, banyak juga hal-hal yang kami dapatkan tanpa sengaja di tempat ini. Ternyata, di pantai inilah tempat dimana para marga asli dari masyarakat kaki gunung Binaiya. Jadilah, berbagai cerita tentang sejarah yang dapat kami koleksi sebagai data observasi. Mereka begitu antusias menceritakan asal mula mengapa penduduk pegunungan bisa sampai di pesisir. Hanya sehari kami di tempat ini, tapi cukup banyak yang bisa kami petik dan dikenang. Mereka terlalu banyak memberikan jasa selama perjalanan ekspedisi manise ini. Sampai pada saat kami harus berangkat menuju pulau Ambon, salah satu dari mereka sempat meneteskan air matanya. Kami tak bisa berlama-lama dalam kondisi seperti ini, karena kami adalah petualang yang tak mau mengenal kesedihan. Pertemuan dan perpisahan sudah jadi hal biasa dan hanya patut untuk disimpan baik-baik dalam galeri perjalanan panjang.
11-17 maret 2011
Tim ekspedisi manise tiba di pulau Ambon dan mulai menjadwalkan scenario kunjungan ke tempat-tempat bersejarah dan mengatur rencana pulang menuju Kota Makassar. Semalaman kami istirahat karena lelah yang masih tersisa. Di secretariat MATEPALA UNPATTI, kami mulai membicarakan penetapan waktu pulang dan kondisi anggota tim sampai saat terkini. Kami disambut oleh teman-teman MAPALA yang sibuk menanyakan kondisi dan kesehatan kami. Pada saat seperti ini, aku benar-benar tahu bahwa jiwa petualangan dan kekeluargaan sangat erat antar sesama pecinta alam dan sama sekali tidak boleh dipandang sebelah mata. kami diajak berjalan-jalan menikmati panorama Kota Ambon Manise. Menyambangi gong perdamaian dunia dan patung pattimura. Kami duduk melingkar di pelataran pattimura park dan menyulut sebatang rokok sebelum beranjak pulang. Ditemani seorang teman yang memang sedari dulu sering menemani kami sampai akhir perjalanan ini, beberapa secretariat MAPALA sempat kami kunjungi. Setelah hari dan waktu sudah tiba, tim ekspedisi berangkat menuju Kota Makassar di antar beberapa MAPALA yang sempat eluangkan waktunya pagi itu.
“jauh kami melangkah, banyak pula yang kami dapatkan…..keras badai menerpa, indah pula yang bisa dikenang…… selamat jalan Ambon Manise, Selamat datang di petualangan berikutnya…..
E.103.09.L.A.89.FIB-UH, rangkaian catatan ringkas perjalanan eks.manise, G.binaiya, pulau seram Maluku Utara, 24 feb 2011 – 19 maret 2011..
Mewujudkan peribadi yang tangguh akan hambatan coba kami bangun semaksimal mungkin. Persoalan yang kian menjadi faktor utama penghambat langkah awal bersumber dari pendanaan yang sangat tidak mendukung. Dengan estimasi yang telah tersusun rapi untuk segala hal, benda bernama uang dan lebih pantas disebut “dewa” selalu saja berontak tidak mau mengerti dengan kondisi. Sampai saat menjelang waktu pemberangkatan pun kami masih tersengal-sengal mengejar ketertinggalan. Terlalu besar dan jauh lebih besar dari kegiatan lainnya yang biasa kami selenggarakan. Dengan beberapa potong proposal yang disusun rapi sesuai konsep, kami menyebar mencari dimanakah nanti ada celah yang ingin berbagi dengan kami. Instansi baik pemerintah maupun swasta dijejaki dengan proposal yang sama. Semoga mereka mau mengerti dan tahu tujuan kami. Usaha mandiri kami lakukan, cukup untuk menghasilkan dana tambahan walau tidak mencapai target semestinya. Berusaha dan berusaha… terus berusaha! Kupikir ada yang indah nantinya ketika sebuah perjuangan terasa berat dan melelahkan, persis seperti mendaki gunung yang terbayar dengan indahnya alam dari ketinggian. Lelah pergi satu persatu berganti semangat baru dan senyum lebar tanda puas dan kebanggaan.
Lima bulan bukan waktu yang cukup untuk persiapan sebuah ekspedisi. Waktu yang terkesan sempit ini memaksa kami untuk berfikir ekstra menyelesaikan pekerjaan rumah yang belum tuntas. Seperti dikejar waktu, terkadang manajemen amburadul dan terjadi crossing job, hal biasa dalam organisasi tapi tidak dalam ekspedisi. Entah berapa lembar kesalahan teknis yang dapat dibukukan jika harus dicatat satu persatu. Belajar bertanggungjawab dan disiplin diri, menjadi patokan utama sebuah ekspedisi. Ketika tak ada yang mampu diterapkan, maka tak ada pula arti dari semua susah payah ini. Memang makan hati, tapi sangat berarti. Tingkatan pendidikan tertinggi dalam regulasi dunia kepencintaalaman, seperti termaktub dalam kitab kurikulum rumah kecil edelweiss, bahkan semua organ pencinta alam. “edelweiss punya anggota, edelweiss punya cita-cita”……tak ada lagi unek-unek yang bisa dilontarkan untuk menanggapinya, hanya tekad dan semangat yang akan kembali mewujudkan dan merealisasikan sepenggal kalimat yang tertera pada sampul buku tebal identitas anggota. Cukup membuat hati tergerak untuk memegang erat panji kehormatan singkat itu, meski hanya sebaris saja.
Tak dapat kami pungkiri bahwa pondasi kokoh ekspedisi ini sempat retak karena beberapa personel yang tidak aktif memberikan sumbangsih tenaga maupun fikiran. Mentaktisi hal itu, upaya dilakukan dengan sedikit perbincangan dalam rapat rutin mengenai perkembangannya. Tak ada jalan lain lagi selain tetap melanjutkan perjalanan panjang ini, walau hanya dengan yang tersisa saja. Tekad semangat yang sudah bulat sekali lagi tidak menyurutkan niat menjejakkan kaki di pelataran tertinggi tanah Ambon Manise nun jauh di sebelah timur Indonesia. Rela tidak duduk mendengarkan sang dosen berceramah panjang, hanya untuk setumpuk pengalaman dan pembelajaran yang tidak semua orang pernah merasakan betapa hebatnya petualangan. Begitu indah dan semarak untuk dikenang, bahkan membawa pulang segudang cerita yang membuat mereka pada tak sabar menanti kelanjutannya, ibarat sinetron saat aku minta izin buang air kecil. ….. bersambung. Berlari memutari pelataran kampus merah bukan rute yang pendek untuk dilalui. Namun rute inilah yang menjadi santapan kami di sore hari agar fisik tetap terjaga dan semakin membentuk lekukan pada betis. Sangat melelahkan, peluh berhamburan di sekujur tubuh dan membuat tubuh terasa lemas di malam hari, tapi sangat bugar di pagi hari jika tidak begadang. Tiga kali dalam seminggu selama kurang lebih empat bulan, barangkali cukup membuat fisik kami tergenjot dan rasanya sudah layak untuk dibawa melintasi belantara menuju puncak Binaiya. Apalagi sering pula disertai dengan latihan berpola sehabis jogging, seperti push up, sit up dan back up, bahkan tidak jarang dilanjutkan dengan pull up dan bouldering bagi yang menyukainya. Seperti itulah gambaran singkat semaraknya perjuangan teman-teman yang masih punya tekad untuk berekspedisi. Sementara di lain tempat dan waktu, ada pepatah yang tercipta “ekspedisi adalah hidup itu sendiri”. Walau rasanya sulit dimengerti, kami percaya bahwa itu benar dan kami ada untuk ekspedisi ini. Selalu berdiri tegak dengan semangat yang berapi-api. Tampak seperti sang puteri bunga abadi edelweis.
Pemberangkatan semakin dekat dan semakin terasa dikejar-kejar waktu akibat persiapan yang masih menyisakan persoalan. Ekspektasi yang menjadi target benar-benar kewalahan dipenuhi. Langkah taktis dan saran yang bertubi-tubi terus dicari. Sedikit bisa mengatasi beberapa persoalan yang masih bersikeras. Kesannya seperti bermain water tower pada permainan out ward Bond. Terus-terusan mencari lubang dan menutupnya walau masih ada air yang terus mengucur pada lubang lainnya. Hebat dan sangat menantang mental anak muda. Bagi yang tak punya kekuatan mental prima sudah pasti akan rubuh tercekik problema yang terus menusuk sampai membuat panas kepala ini. Urusan-urusan lain yang menjadi kebiasaan di kampus terabaikan sedikit demi sedikit, akibat waktu dan tenaga yang berpihak pada satu sisi.. EKSPEDISI MANISE. Tak bisa dipungkiri kalau memang makan hati terus-terusan terjadi bahkan sempat menyisakan konflik antar personel ekspedisi. Tapi tidaklah berlanjut sampai pada jenjang yang lebih jauh.
Sekian lama bergelut dalam hal persiapan, tersisa beberapa hari lagi kami akan berangkat menuju tanah Ambon. Tiga hari telah kami gunakan untuk bersimulasi seadanya. Mungkin belum mencapai tahap yang persis sama dengan jalur pendakian binaiya, tapi ada sedikit penyegaran untuk penguasaan materi yang mengisi kepala ini. Rapat kembali digelar pada minus enam hari pelepasan, membahas segala hal yang masih harus diselesaikan termasuk persoalan yang terkecil sekalipun. Seketika semangat terasa berkobar-kobar mendengar kata memuncak terlontar dari kalimat yang terucap. Rasanya tak ada lagi keraguan untuk membawa nama keluarga kecil ini ke atas sana. Mengibarkan bendera kecil kami di bawah panji-panji kekuasaan ilahi di tanah yang tinggi. Tersenyum dan kepakkan sayap-sayap yang telah letih berjuang melawan hujan kerikil kemarin. Menatap sang alam terbentang luas di bawah puncak Binaiya , dan meraih asa yang akan kami bawa pulang untuk sebuah persembahan sederhana berupa karya-karya petualangan. Biar tak segampang berkata, keyakinan sudah bermukim dalam dada kalau beberapa waktu lagi, segelintir anak muda berlatar sastra akan tersenyum puas di balik kabut petang di pelataran tertinggi Pulau Maluku. Semoga tidak hanya sebatas wacana yang terus menjadi bualan saja.
Tak ada hal yang paling mendebarkan selain hari pelepasan yang sudah tiba. Rasanya, detak jantung kian melaju entah karena apa. Padahal, tantangan masih jauh di depan mata. Masih sekedar khayalan dan ilusinasi belaka. Gambaran sebuah lingkaran manusia terpampang jelas sambil menanti kedatangan sang Pembantu Dekan Tiga fakultas Ilmu Budaya-UH. Semua sibuk dengan pertanyaan masing-masing, sampai kami jenuh menjawab pertanyaan yang sama terlontar dari mulut yang berbeda. Melelahkan dan membosankan mendengar celoteh mereka yang ingin mengikuti upacara pelepasan. Ribut dan tak mau berhenti menanyakan apa saja, seolah-olah juga menjadi bagian dari tim dan akan menyusul beberapa hari lagi. Sudahlah! Mulai saja upacaranya.
24 Februari 2011
Bukan lagi sebuah cerita, tapi benar-benar realita bahwa kami sudah di ambang pintu menuju tanah Maluku. Carrier barbaris di depan pemiliknya, lantas berpose dengan latar banner megah bertuliskan nama tanah itu. Kemeja krem melengkapi tubuh personel ekspedisi yang sudah siap dengan resiko di depan. Tak ada beban lagi yang harus bersarang di kepala, hanya satu tujuan dengan tekad yang sama. Jalan masih jauh, dan kami harus mengucapkan selamat tinggal buat kota dan teman. Di pelataran pelabuhan , kami berkumpul bersama menikmati malam menunggu klakson tanda berangkat bergema dari corong dek teratas kapal itu. Kapal yang dipenuhi lampu-lampu kecil di sekeliling, ibarat ingin menghibur siapa saja yang ditinggal pergi oleh penumpang kapal.
24 maret 2011……
Sirine panjang bergema tiga kali di pelabuhan Makassar, petanda bahwa kapal akan segera meninggalkan laut Makassar menuju Ambok Maluku. Kami kini sudah berada pada titik awal menuju pencapaian ekspektasi dari EKSPEDISI MANISE. KM Gunung Dempo tertera pada dek teratas, disinari terang cahaya lampu kuning membuatnya terlihat megah besar di depan mata. Orang-orang berbaris di pinggiran dek, melihat-lihat awak yang sibuk menarik sauh dan sebagian pula menikmati menikmati cahaya metropolitan Makassar yang kian menjauh. Deru mesin menggetarkan kaki yang menapak pada dasar kelas ekonomi. Ada ragam suku dengan gaya khasnya. Masing-masing berkumpul dengan sesamanya sambil sesekali menyapa yang lain dengan senyuman. Kali ini, domunan prawakan Indonesia Timur yang terlihat, karena memang tujuan benda terapung ini adalah kawasan timur dari nusantara sampai di Sorong Papua. Katanya, kapal ini baru dua tahun beroperasi. Pantas saja fasilitas di dalam kelihatan masih baik-baik saja. Jauh berbeda dengan kapal-kapal yang lain. Sebuah keberuntungan bagi kami yang kebetulan berada pada dek kelas ekonomi. Cukup nyaman melabuhkan tubuh dan carrier besar pada kasur yang masih empuk terlihat.
Terayun-ayun dalam dek pening rasanya terkadang ingin muntah. Belum lagi di sekeliling ada ragam model yang sulit ditebak, apakah menggoda atau sebaliknya. Dugaanku, barangkali sedikit menggoda tapi terasa memuakkan. Norak dan berlebihan. Bukan tak senang melihat keadaan, tapi sekedar ingin menuangkannya dalam bait kalimat. Musik terdengar dimana-mana, riuh karena beragam genre yang terdengar. Cukup membuat pening bertambah parah jadinya. Masih dengan kostum tadi malam, kami berbaris menyandarkan punggung pada carrier. Masing-masing terlarut dengan aktivitasnya dan ditonton orang-orang yang sedikit heran melihat packingan yang besar dan aneh. Hanya sedikit yang tahu bahwa kami sedang dalam perjalanan untuk mendaki gunung. Perasaan bercampur aduk, dingin dan lapar. Tak ada makanan yang disiapkan pihak kapal. tertera jelas di bagian belakang tiket dengan stempel resmi dari PT PELNI. Untung saja ada sedikit persiapan untuk mengganjal perut yang keroncongan. Selebihnya kami harus merogoh kocek sendiri untuk mengalas perut. Menghabiskan waktu dengan menikmati angin laut di anjungan sambil meneguk kopi hangat dari café kecil milik besi terapung ini. Sesekali mengabadikannya dengan kamera mungil sebagai dokumentasi perjalanan EKSPEDISI MANISE. Selama kurang lebih tiga puluh lima jam aktivitas itu berputar-putar. Ke atas dan ke bawah, tidur dan bercerita. Sedikit monoton tapi kami tetap menikmati perjalanan ini. Malam terakhir di kapal ini kami habiskan dengan berbibcang-bincang kecil di dek tujuh. Celakanya, café sudah tidak buka lagi dan hanya ada beberapa gelas sisa yang masih setia melawan angin laut banda. Jadilah kami harus memesan kopi dengan harga yang tidak wajar dari dek bawah, sebuah kantin kecil yang lumayan lengkap. Satu persatu orang-orang yang sedari tadi asyik bermain domino mulai meninggalkan dek tujuh. Begitu pula beberapa pria paruh baya yang ceritanya selalu tentang bisnis, melangkah perlahan tanpa pamit pada kami menuju ruangan masing-masing. Lampu tepat di atas kepalaku, menerangi notebook cokelat yang baru kubeli sebelum berangkat. Makin jelas garis-garis biru pada lembarannya, menanti goresan-goresan tanganku malam ini.
26 februari 2011
Pagi cerah diterobos kapal besar ini dengan kecepatan entah berapa knot. Terlihat dari jendela bundar, percikan gelombang air asin berbuih putih meriak di belah besi. Kami tiba di pelabuhan Yos Soedarso pukul 10.00 WIT. Tampak kesibukan pelabuhan ini sama dengan pelabuhan-pelabuhan yang lain pada umumnya. Dari tempat pertama menginjakkan kaki di pulau Ambon, kami menuju Universitas Pattimura dijemput teman dari MATEPALA UNPATTI yang memang sudah dikoordinasikan sebelumnya. Angkutan umum menjadi pilihan kami menuju Poka, seberang teluk Bakuala tempat dimana UNPATTI berdiri megah berjejer dengan beberapa fakultasnya. Carrier diatur sedemikian rupa dan kami dibawa mengelilingi pesisir pantai berputar mengelilingi teluk itu. Sampai di UNPATTI, tepatnya di fakultas teknik, secretariat MAPALA UNPATTI aku dan ketua ekspedisi, TOM, harus kembali lagi ke Kota Ambon mengurusi segala administrasi di kepolisian dan proposal untuk Gubernur Maluku. Sementara teman yang lain, fuad, Reski dan Uun mulai mengakrabkan diri dengan teman-teman MATEPALA. Panas membakar wajah ketika kami harus melewati pelataran kota, gong perdamaian dunia dan patung pattimura. Rasanya menggila dan keringat mengucur deras. Tak peduli dengan keadaan, aku dan Tom terus berjalan menyelesaikan semua yang masih tersisa. Sejenak pula kami berteduh di bawah rumah makan kecil mengisi perut yang baru mendapat asupan sejak malam tadi. Selesai makan, kami kembali harus menyebrangi teluk Bakuala menuju UNPATTI. Tapi kali ini, kami memilih menggunakan jasa perahu katinting, istilah yang dipakai di Ssulawesi untuk perahu seperti itu.
Jelang malam, kami istirahat tanpa banyak beraktivitas. Tapi, sebagai pimpinan operasi aku masih dalam bingung soal kepastian dana yang dibutuhkan. Kami melakukan evalusai singkat membahas persoalan itu. Belum habis masalah finansial, muncul pula masalah baru tentang waktu. Manajemen mulai sedikit amburadul, padahal scenario sudah tertata rapi sebelum samapai di tempat ini. Kesepakatan kian berubah menjadi perbincangan baru yang a lot dan menyisakan problema yang menggantung. Sedikit banyak akibat informasi baru yang kami dapatkan tentang biaya yang digunakan untuk memasuki wilayah pedalaman pulau seram. Antisipasi dan perkiraan berbenturan keras. Finansial yang kami siapkan sangat kontra dengan informasi baru itu. Kemudian muncul pula dilemma yang tiba-tiba btentang siapa yang harus mnyertai tim kami melewati jalur menuju kaki Binaiya. Kaki gunung yang dihuni oleh masyarakat yang kian tercemar dengan pemikiran tidak sesuai dengan semestinya. Tempat itu seakan-akan menjadi momok menakutkan bagi kalangan Mahasiswa pencinta Alam yang keterbatasan finansial. Untuk mendaki gunung Binaiya, sebuah tim harus menyiapkan dana yang jumlahnya tidak sedikit. Katanya untuk kepentingan desa, dan itu sangat bertentangan dengan pemikiran dan persiapan kami. Kaki gunung Binaiya berdiri di Desa Kanikeh yang kini menjadi loket pembayaran “tiket” mendaki gunung Binaiya. Kesannya terlalu mengada-ngada dan sangat tidak rasional. Para pendaki harus merogoh kocek dalam-dalam hanya untuk menginap dan menandatangani buku tamu sebagai wujud aktulisasinya. Harga yang setara dengan hotel metropolitan untuk semalam dan tentunya tidak dilengkapi apa-apa, hanya segulung tikar dan ruangan sempit. Soal itu bukanlah masalah bagi kami, tapi dalam hal ini bukan lagi nilai petualangan yang terbit, melainkan kekecewaan yang meluap mengapa otak mereka harus dicemari dengan rupiah. Untuk instansi dan kelompok yang sempat menghamburkan uang pada kaum terbelakang ini demi mendapatkan nilai budayanya, kami haturkan maaf sebesar-besarnya bahwa cara itu tidaklah benar. Bukan mengintimidasi atau menyalahkan, tapi kami tak ingin kalau sampai setiap penduduk kaki gunung sudah menganggap bahwa pendaki gunung sumber pendapatannya. Karena kurangnya perhatian, jadilah Mahasiswa Pencinta Alam yang terjebak dalam aksi liput-meliput ini. Para petani dan pemburu yang dulunya selalu menyapa dengan senyum lembut kini diteror menjadi monster penghisap rupiah. Tak perlu diungkap terlalu jelas, tapi yang perlu diperhatikan adalah jika ingin berpetualang jangan sisakan kesulitan bagi petualang berikutnya!
Dari hari ke hari, kami terlunta-lunta tak jelas ke arah mana fikiran melayang. Dilema benar-benar memuncak dan menjadi bagian dari perjalanan ini. Hal-hal kecil yang notabene tidak akan menjadi penghalang justru menjadi bebatuan karang yang sulit terpecahkan. Tak ingin terus-terusan terdampar, kami mencoba mentaktisi dengan segala cara. Mengalir mencari celah menembus batas sampai tujuan bak air di kali kecil. Filosofi sederhana ini bangkitkan semangat kami yang sempat babak belur dihimpit cerita-cerita teman-teman yang kebetulan lebih dulu menjejaki wilayah Seram. Psikologis tiba-tiba terkuras habis. Kering kerontang membuat kelam kabut mengatasi adrenalin yang terpacu cepat sekali. Walau sempat dibelenggu persoalan pelik dan alot beberapa hari, sekuat tenaga kami mencoba untuk saling menguatkan dan menetralisir “racun-racun” yang membebani fikiran. Ditambah dorongan semangat dari teman-teman Mahasiswa Pencinta Alam di Ambon, semangatku bersama empat rekan seperjuanganku tergenjot dan kembali menyalakan api perjuangan.
01 maret 2011
Setelah melalui proses yang cukup menguras otak, kami memutuskan untuk tetap melangkah dan mengangkat kaki walau harus dengan modal yang tak sampai. Melangkah maju dan tetap bijak mengambil tindakan dan solusi terbaik. Bermodalkan finansial yang memprihatinkan, tim EKSPEDISI MANISE berangkat ke Pulau Seram. Kami ditemani oleh dua organ Pencinta alam, MATEPALA UNPATTI dan MAHIPALA IAIN AMBON. Totalnya ada empat orang ditambah pula dua penduduk local asal Seram Utara yang juga menjadi satu-satunya harapan kami untuk bisa mengatasi masalah di kaki gunung terkait finansial. Saat itu kami sangat yakin bisa berdiri di puncak singgahsana Binaiya yang mistis ini. Menuju Pulau seram, kami kembali harus menyebrangi lautan dengan ferri di pelabuhan Liang menuju pelabuhan Wai Pirit. Di situ pula kami dihibur pesona indahnya pantai Ambon saat berdiri di anjungan ferri. Pantas saja disebut Ambon Manise. Malam tiba dan menjemput kami di pelabuhan wai Pirit. Dari situ, kami masih harus menempuh perjalanan setengah hari menuju Halte Huahulu, garis start menapaki belantara Seram.
03 maret 2011
Pagi itu, sesuai dengan perencanaan kami bertemu dengan penduduk local yang akan menemani. Waktu itu, kami disuguhkan daging rusa dari rumah mereka. Mungkin hasil buruan beberapa hari yang lalu. Cukup menjadi sumber tenaga di pagi hari untuk mencapai target dua desa yang menjadi gerbang jalur utara Gunung Binaiya. Jauh, berat, berlumpur, letih, pegal dan lain-lain. Itu yang kami rasakan pada hari perdana menjejali hutan tropis Pulau Seram yang lebat belum terjamah. Hutannya memang lebat dan pantas disebut belantara. Menyusuri sungai yang luas dan bercabang-cabang membuat nyali tertarik ulur memperpecepat denyut jantung. Belm lagi jalur yang sudah agak buram dan sedikit luput dari ingatan sang pemandu kami. Basah menggerayangi kaki sampai di pinggang. Sedikit membuat tidak nyaman untuk tetap melanjutkan perjalanan ini. Jelang maghrib, saat tenaga sudah tinggal secuil, kami tetap melangkah perlahan mencari tempat yang cocok mendirikan tenda, wai samata. Malam tiba dan kami disibukkan dengan urusan tenda dan makan malam, sambil di terpa hujan yang tidak terlalu deras. Akhirnya bisa beristirhat juga di tempat ini setelah seharian berjalan dan melewati dua desa yang dihuni masyarakat asli Seram Utara. Mereka berperawakan hitam dengan rambut keriting, sedikit agak menyeramkan karena saat bertemu jarang yang berkenan untuk senyum menyapa. Hanya menatap tajam dan sesekali mengangguk tanda memberi izin untuk kami lewat. Semua wajah yang sempat kami sapa, hanya tunduk dan menatap bengong layaknya orang yang keheranan. Ada juga yang hanya menatap diam tanpa ekspresi. Sangat aneh rasanya berjalan sambil diperhatikan mereka. Gigi mereka hitam akibat sirih yang sudah menjadi candu bagi mereka.
Malam itu, setelah selesai menikmati makan malam, kami melingkar di atas tanah yang becek. Hanya bisa berjongkok di depan lilin besar berwarna merah sebagai penerangan kami. kami mencoba untuk menyatukan persepsi dan pendapat dengan semua yang ikut dalam perjalanan ini. Sesuai perencanaan awal tentang kenekatan kami berangkat tanpa memenuhi persyaratan finansial di kaki gunung, kami rembukkan bersama. Mencari solusi dan mengatur strategi jitu agar bisa lolos dari perundingan dengan sang bapak saniri ( petinggi desa ). Setelah semua sudah satu arah pandang dan saling mengerti posisi, masing-masing kembali ke dalam tenda dan istiahat.
04 maret 2011
Dari wai Samata, tim kembali menempuh medan yang lebih parah lagi. Kami berangkat pagi dengan alasan bisa mencapai Desa Kanikeh lebih cepat. Kalau kemaren medan panjang dan datar, kali ini, berubah menjadi trekking berat melelahkan. Tersengal-sengal nafas kami dan terkadang diiringi keluh kesah dalam batin kecil. Jauh tak kunjung tiba. Terkadang harus jatuh tenggelam dalam lumpur sampai sepatu hilang dari pandangan. Desa kanikeh menjadi terlalu indah pada waktu itu, sangat dirindukan karena jauhnya yang melebihi target. Ingin cepat-cepat direngkuh sejuk desa itu, damai dan terlelap dalam pelukannya. Beberapa bukit dijajali, banyak sungai di seberangi, jutaan pohon besar dan kecil menatap langkah-langkah itu dan hanya diam dengan sambutan hangatnya. Telapak membekas dan sisakan penat di kaki, lumpur merengek-rengek ingin menempel sejauh manapun, menambah beban yang sedari tadi mulai menjengkelkan.
Sekitar pukul lima sore itu, kami memasuki desa Kanikeh. Tampak pula binaiya yang menjadi latar belakang desa itu. Megah berdiri manantang, membuat semangat menyala-nyala ingin berdiri di atas sana. Kami beristirahat di rumah bapak saniri negeri malam itu. Suasananya agak tegang karena kami harus melewati malam dengan perdebatan yang alot. Dua teman yang memang masih berdarah lokal Kanikeh menurut marganya mencoba bernegosiasi secara persuasif. Semua hanya diam dan hanya mendengar apa yang mereka perdebatkan sambil dalam hati berdoa semoga hati petinggi desa ini luluh dan mau memberi izin pada kami memuncak di Binaiya tanpa biaya yang besar seperti yang baru saja gempar di kalangan Pecinta Alam Ambon. Jumlah yang luar biasa bagi kami yang tidak biasa dengan hal seperti itu. Tak pernah kami dapatkan permintaan yang melewati batas, bahkan memang tidak ada biaya sedikit pun kecuali biaya pendakian. Alhasil, sekian jam berdebat dengan beberapa petua adat kampung, mereka menemui titik terang. Harga disepakati dan mulailah babak baru perbincangan mereka. Bukan lagi berkutat pada uang dan uang, tapi beralih pada keluhan-keluhan dari mereka yang merasa dianaktirikan oleh pemerintah. Hal seperti ini sudah biasa bagi kami kalangan mahasiswa. Kaum pedalaman memang sering berbagi keluh kesah mereka soal perhatian pemerintah. Kapan pemerintah bisa tahu keadaan rakyatnya sendiri jika hanya berputar-putar di metropolitan menghadiri acara silih berganti mengundangnya sebagai yang terhormat. Hati terasa tersentuh kala orang-orang yang jauh dari akses ini mengadu dan sepertinya salah tempat. Kami hanya bisa sebatas mendengar dan mengiyakan. Semoga saja ada yang berubah dari negeri ini agar rakyatnya tidak selalu berkeluh kesah tentang penderitaannya. Biar nusantara tahu bahwa di negeri ini yang ada bukan hanya kaum kota metropolitan yang sarat akan modernisasi dan gengsi, tapi masih banyak kaum yang belum mendapatkan apa yang selayaknya.
05 maret 2011
Pagi hari, rumah yang menjadi tempat menginap kami menjadi ramai. Banyak warga kampung yang dating untuk menyaksikan upacara adat dan kesibukan kami sebelum mendaki Gunung Binaiya. Saat petua adat sudah tiba, sehelai kain merah dan sepiring sirih dan kapur disiapkan istri bapak saniri. Tokoh adat yang sudah berumur itulah yang melepas kami menuju puncak binaiya. Kami melingkar di bawah kain yang tergantung di atas. Sementara piring berisi sirih dan pinang diletakkan di tengah lingkaran kami. petua adat memegangi kain merah dan mulai berteriak-teriak denga bahasa yang sedikit pun tidak kami mengerti apa yang diucapnya. Katanya, dia sedang memanggil roh leluhur mereka untuk dimintai perlindungan agar perjalanan kami kelak bisa selamat tanpa marabahaya yang mengancam keselamatan. Setelah meracau beberapa menit, kain merah dilepas lalu diletakkannya kain itu di atas kepala kami satu persatu. Di tekan sembari mengucapkan sesuatu, dan masih tak kami mengerti apa yang keluar dari mulutnya itu. Kami hanya terhenyak dan melongo. Pinang yang ada di piring di kunyahnya. Celakanya, kami juga diharuskan untuk mencicipi pahitnya sirih dan pinang itu. Raut wajah serta merta mengerut saat benda itu menyentuh lidah, sangat pahit dan rasanya jelek. Katanya itu untuk keselamatan kami disana. Kami mengangguk apa saja yang diucapakannya. Jam Sembilan pagi itu, guide yang kami sewa mulai melangkah cepat. Sulit terkejar dan kami setengah mati mendapatkan jejaknya. Begitu seterusnya sampai pada sore hari di camp – 1, Wai Huhu. Dia hanya meninggalkan jejak dan kami mengikuti dari belakang. Tanpa alas kaki, langkahnya ibarat tidak sedang menjejaki medan menanjak. Sangat cepat dan jeli akan lubang dan lumpur. Kami memaklumi itu karena memang dia terbiasa berjalan cepat dan tenaganya memang sudah bersahabat dengan medan. Sore itu, kami diguyur hujan. Dingin mulai menusuk dan membuat gemetar tubuh menembus wind breaker di badan. Trekking yang cukup berat sedikit dapat menghilangkan hawa dingin yang merasuk. Jemari mulai berkerut dan kaki terasa kaku, ingin sekali cepat-cepat melangkah dan berganti pakaian di dalam hangatnya tenda. Kami tiba di saat maghrib sudah menjelang, dan malam sudah mulai turun menutupi cahaya terang dari barat. Nikmatnya bersempit-sempit di dalam tenda. Rasa lelah yang tak terbendung kembali mengantar kami melihat mentari esok hari dimana kami harus bertempur kembali. Bertempur dalam summit attack menuju puncak Gunung Binaiya. Hari ini adalah hari yang paling mengisi semangat kami. Raut wajah cerah karena semangat dibalut oleh keletihan yang luar biasa tampak pada wajah tim ekspedisi manise. Kami memang letih dan penat. Letih memikirkan persoalan yang tersisa dan penat merajai tubuh saat mendaki.
06 maret 2011
Selesai sarapan dan packing, kami sejenak menghangatkan tubuh di bawah terik matahari yang kebetulan sangat beruntung bisa menembus vegetasi lebat belantara gunung ini. Setelah merasa enak, kami pun mulai melangkah dengan semangat besar mengingat puncak yang sudah kian dekat dengan telapak kaki. Sampai pada batas vegetasi sekitar satu kilometer menuju puncak, punggungan tertinggi tampak dari balik kabut tebal. Megahnya bangkitkan semangat segera memijak dan menyentuh tanah dinginnya. Vegetasi sudah mulai mengecil, yang tampak kini hanya paku-pakuan dan pohon-pohon palm yang berjejer menghiasi lereng punggungan. Lembahnya tampak terbuka dan tertutup silih berganti, terkadang pesisir pantai di bawah sana terbentang menghibur kelelahan kami. sedikit demi sedikit kami terus melangkah menuju tanah yang lebih tinggi. Semakin dekat tanjakan semakin menggila dan benar-benar menguras tenaga. Medannya yang terbuka membuat angin sangat mudah merubuhkan tubuh yang sudah lemah. Belum lagi medan berpasir yang mengharuskan kami berkonsentrasi memilih pijakan yang benar. Kabut di sisi kiri menutupi lembah dalam yang menganga lebar di punggungan terakhir. Sedikit membuat ciut nyali melangkahkan kaki di lereng itu.
Sekitar pukul 14.00 WIT, aku menengadah menatap awan yang tidak berwarna biru. Aku berdiri pada ketinggian 3027 mdpl Pulau Seram Maluku Utara disusul empat anggota tim ekspedisi manise 2011 dan tim pendukung. Hari ini, 06 maret 2011 UKM PA EDELWEIS FIB-UH memuncak di batas vertical Pulau Maluku. Wai Puku, istilah yang sedari dulu melekat pada puncak Binaiya karena disitu ada genangan air abadi menurut guide kami. Ada pula yang berkata air itu adalah sisa air asin saat masih tenggelam di zaman sebelum zaman es. Tapi, entah mana yang benar yang jelas bentuknya persis seperti danau kecil yang menjadi sumber air di puncak ini. Angin menghantam kami pada waktu itu, hujan tiba-tiba mengetuk-ngetuk flysheet yang sudah dibentang. Baru reda setelah kami selesai makan siang, dan kami mengambil waktu itu untuk berpose dan mengabadikan momen-momen puncak yang membuat senyum terukir indah. Banner kami bentang bersama. Sedikit sulit karena angin yang terlalu kencang. Dibantu oleh tim pendukung dari MAPALA Ambon, momen itu diabadikan dalam potret dan video durasi singkat sebagai wujud dokumentasi kami. Atribut organ melekat di tubuh sementara bendera kuning UKM PA EDELWEIS FIB-UH berkibar dalam genggam tangan-tangan kami. semua tersenyum seperti tak pernah ada susah untuk bisa menapak disini. Dingin yang keterlaluan membuat kami tak bisa berlama-lama. Kami kembali harus turun ke samping danau kecil Wai Puku dan membalut tubuh dengan sleeping bag. Nikmati malam di puncak ini bagiku punya nilai tersendiri bagi peribadi yang merasakannya.. Anginnya penuh arti dan hawa sejuk menusuk sampai ke hati seraya mengajak jemari menghasilkan karya-karya terindah dalam goresan pena…. Perjalanan ini belum berakhir, kawan!
07 maret 2011
` pagi – pagi sekali kami sudah bersiap, memasak dan packing untuk melaju ke kaki gunung. Jarak pendakian yang kami tempuh selama dua hari perjalanan kali ini akan ditekan menjadi sehari karena perjalanan tidaklah sesulit pendakian yang butuh istirahat lebih. Hanya saja, otot-otot yang kemarin sudah terbiasa dengan medan menanjak mulai terasa sakit, menyesuaikan dengan medan baru berupa penurunan curam menuju tempat yang lebih rendah. Paha terasa sakit dan lutut seperti ingin beranjak dari posisi. Kami kembali melalui jalur yang telah dilalui. Beberapa titik masih sempat terekam dalam otak., persis ketika melaluinya beberapa hari yang lalu. Beberapa teman dari tim pendukung sempat tertinggal akibat sakit pada bagian lutut menyiksa membuat langkah menjadi sedikit lamban. Sore menjelang senja menyambut kedatangan kami di Desa kanikeh, tempat dimana kami pernah mencicipi pinang dan sirih yang rasanya menyakitkan. Dari Kanikeh, kami dihibur panorama Binaiya senja kala. Tampak puncaknya diselimuti kabut dan sebagian masih melirik tajam ke segala penjuru. Di rumah yang sama, kami disuguhi singkong rebus atau kasbih dalam bahasa lokal. Ada juga patatas (ubi jalar) yang masih hangat menambah gairah menikmati makanan tradisional ini.
Malam hari, malam hari kami menyempatkan diri menuntut jawaban-jawaban dari sang bapak saniri melalui pertanyaan-pertanyaan singkat seputar budaya lokal. Mulai dari hal yang jelas kelihatan sampai pada mitos serta legenda yang kesannya terkadang tidak rasional bagi kami. Walau begitu, aku yang terlanjur merasa tertarik dengan cerita mistiknya terus saja bertanya antusias menanti setiap kata yang keluar dari mulutnya. Kucatat rapi dalam notebook kecilku dan akan kujadikan koleksi-koleksi budaya lokal yang sempat kami rekam dalam perjalanan panjang ini. Nantinya akan kami sampaikan pada mereka di luar sana bahwa ternyata masih banyak rahasia tentang budaya tersimpan rapi di balik nusantara Indonesia.
08 maret 2011
Sekitar jam setengah sepuluh pagi, tim Ekspedisi Manise mulai berjalan melalui jalur yang sama. Kembali menempuh jarak dengan arah berlawanan menuju titik awal seminggu yang lalu. Dua hari kami habiskan untuk sampai ke halte Huaulu( titik awal ). Kali ini kami tiba lebih cepat dibandingkan degan waktu tempuh pada saat berangkat. Mungkin karena semangat yang meluap-luap untuk kembali menikmati tiupan angin dari pulau seram saat duduk santai dalam bus. Ingin rasanya cepat-cepat melihat ramainya kota dan menikmati angin pantai pulau Ambon. Terlebih lagi suasana Pulau Sulawesi dan semua yang ada padanya sudah lama ditinggal pergi.
09 maret 2011
Tiba di halte huaulu, (jalan arteri pulau Seram), kami tidak langsung menyeberang ke pulau Ambon. Justru kami berbalik arah menuju ke Seram bagian Utara. Sampai di Desa Wahai yang merupakan kampung halaman dari dua orang tim pendukung, Ua (nama panggilan) dan Aman yang sempat ikut dalam pendakian. Tempatnya di pesisir pantai yang dipenuhi pohon-pohon kelapa menjulang tinggi. Disana, kami menyempatkan diri membenahi peralatan dan pakaian, kemudian kami disuguhi makanan khas Maluku “pappeda”, serta kelapa muda yang terlalu banyak. Mereka dan sanak saudaranya begitu ramah dan sangat peduli dengan keberadaan kami selama di desa bernama Wahai ini. Sore hari, kami dibawa berjalan-jalan di sekitaran kampung, termasuk sebuah goa yang sangat elok untuk ditelusuri. Disamping itu, banyak juga hal-hal yang kami dapatkan tanpa sengaja di tempat ini. Ternyata, di pantai inilah tempat dimana para marga asli dari masyarakat kaki gunung Binaiya. Jadilah, berbagai cerita tentang sejarah yang dapat kami koleksi sebagai data observasi. Mereka begitu antusias menceritakan asal mula mengapa penduduk pegunungan bisa sampai di pesisir. Hanya sehari kami di tempat ini, tapi cukup banyak yang bisa kami petik dan dikenang. Mereka terlalu banyak memberikan jasa selama perjalanan ekspedisi manise ini. Sampai pada saat kami harus berangkat menuju pulau Ambon, salah satu dari mereka sempat meneteskan air matanya. Kami tak bisa berlama-lama dalam kondisi seperti ini, karena kami adalah petualang yang tak mau mengenal kesedihan. Pertemuan dan perpisahan sudah jadi hal biasa dan hanya patut untuk disimpan baik-baik dalam galeri perjalanan panjang.
11-17 maret 2011
Tim ekspedisi manise tiba di pulau Ambon dan mulai menjadwalkan scenario kunjungan ke tempat-tempat bersejarah dan mengatur rencana pulang menuju Kota Makassar. Semalaman kami istirahat karena lelah yang masih tersisa. Di secretariat MATEPALA UNPATTI, kami mulai membicarakan penetapan waktu pulang dan kondisi anggota tim sampai saat terkini. Kami disambut oleh teman-teman MAPALA yang sibuk menanyakan kondisi dan kesehatan kami. Pada saat seperti ini, aku benar-benar tahu bahwa jiwa petualangan dan kekeluargaan sangat erat antar sesama pecinta alam dan sama sekali tidak boleh dipandang sebelah mata. kami diajak berjalan-jalan menikmati panorama Kota Ambon Manise. Menyambangi gong perdamaian dunia dan patung pattimura. Kami duduk melingkar di pelataran pattimura park dan menyulut sebatang rokok sebelum beranjak pulang. Ditemani seorang teman yang memang sedari dulu sering menemani kami sampai akhir perjalanan ini, beberapa secretariat MAPALA sempat kami kunjungi. Setelah hari dan waktu sudah tiba, tim ekspedisi berangkat menuju Kota Makassar di antar beberapa MAPALA yang sempat eluangkan waktunya pagi itu.
“jauh kami melangkah, banyak pula yang kami dapatkan…..keras badai menerpa, indah pula yang bisa dikenang…… selamat jalan Ambon Manise, Selamat datang di petualangan berikutnya…..
E.103.09.L.A.89.FIB-UH, rangkaian catatan ringkas perjalanan eks.manise, G.binaiya, pulau seram Maluku Utara, 24 feb 2011 – 19 maret 2011..
0 komentar:
Posting Komentar