Ocean Blue Flame

Minggu, 15 Agustus 2010

“TOTAL ADVENTURE” MENUJU ATAP SULAWESI

“TOTAL ADVENTURE” MENUJU ATAP SULAWESI
E.103.09.L.A.89.FIB-UH


Berangkat dengan bermodalkan tekad bulat mengantar aku dan empat saudaraku menuju puncak tertinggi pulau Sulawesi. “Gunung Latimojong”….., begitu panggilannya. Walau menuai banyak kritikan dan sejumlah kekhawatiran, tekadku sudah tak terbendung lagi untuk tetap melangkah ke depan karena kuyakin bahwa aku pasti mampu menginjakkan kaki di puncak sana, melihat betapa besarnya keagungan sang khalik dari atap Sulawesi. Belum lagi cerita–cerita mistik yang selalu mewarnai awal dari kepergianku bersama beberapa saudaraku yang juga punya tekad sama seperti diriku. Semua cerita kupendam dalam-dalam dan kusimpan jauh di lubuk hati biar semangatku tak kendor sedikit pun. Biar tetap membara bak bunga api “EDELWEIS” yang tak pernah layu diterjang musim.

Pukul 06.30 WITA, tanggal 01 agustus 2010, sebuah mobil plat kuning menjemput awal perjalanan kami dari kampus merah Universitas Hasanuddin. Kami melingkar sejenak, tunduk meminta petunjuk dan perlindungan kepada sang maha kuasa sebagai langkah awal perjalanan pagi itu bersama beberapa saudara EDELWEISER yang turut melepas keberangkatan kami. Di mobil sempit penuh barang itu, tak mampu lagi kutahan kantuk yang sedari tadi membuat pening kepala sekalipun duduk dalam posisi tidak wajar untuk sebuah perjalanan ratusan kilometer. Hanya sesekali kuterjaga tuk memastikan dimana posisi saat itu. Mobil mungil itu melesat kencang membawa kami meninggalkan kota Makassar sampai ke wilayah sekitar kaki Gunung Latimojong, kecamatan Baraka tepatnya. Dari situ pula, kami kembali harus terpontang –panting di atas sebuah truk pengangkut barang melewati jalan bebatuan yang kelihatannya sudah tak layak pakai. Berlumpur dan berlubang, belum lagi daun-daun salak yang terkadang menghantam wajah bila tidak siaga. Tapi senang rasanya melewati jalur itu. Terlihat panorama lembah dengan kabut-kabut tipis menghiasi beberapa titik lereng pegunungan nun jauh di sebelah sana. Mataku terus memandangi indahnya kombinasi hijau dan putih dari atas truk mungil sembari tetap menggenggam erat besi di pinggiran truk. Walau terpontang-panting akibat kondisi jalan yang rusak parah, hatiku tetap bersenandung ria menikmati indahnya petualangan kali ini. “Total adventure” bisikku dalam hati ketika kami harus turun dan menarik truk itu dengan tambang saat terkubur dalam ganasnya lumpur. Beberapa kali itu terulang sampai pada satu titik, seorang pak tua yang juga ikut menumpangi pesona perjalanan mendebarkan itu terhantam besi truk. Keningnya beradu menghantam kerasnya baja. Tak pelak, darah merah segar mengucur deras dari keningnya yang sudah tampak mulai berkeriput termakan usia. Suasana hening seketika , beberapa orang di atas truk mulai panik. Kuraih carrierku, mencari sebuah kotak yang memang menjadi benda tak terlupakan dalam setiap petualanganku. kotak p3k yang lengkap terisi sejumlah alat medis sederhana sesuai dengan namanya. Kedekati pak tua yang lagi memegangi keningnya. Tampak jelas dari wajahnya kalau dia sedang meringis kesakitan. Kuberikan sedikit sentuhan medis ala petualang bersama saudara-saudaraku yang ikut membantuku. Seribu ucapan terima kasih terlontar dari bibir pak tua usai kubalut lukanya. Kubalas dengan senyuman dan anggukan kecil lalu kembali beranjak ke atas truk bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Sejenak kuberpikir, bangga juga rasanya bisa membantu pak tua itu walau hanya dengan sedikit alcohol, obat luka dan sejengkal kain kasa dilengkapi plaster perekat. “Satu dari tridarma perguruan tinggi, pengabdian kepada masyarakat” bisikku dalam hati. Hahahaha………………..lumayan.
Satu jam lebih di atas truk, kami sampai di sebuah dusun. Truk behenti dan memaksa kami melangkahkan kaki dengan carrier yang masih padat. Tapi itu tak jadi masalah bagiku, mumpung tenaga masih sangat prima. Malam tiba, kami tetap bersikeras melangkah walau lumpur jalan sudah mencapai mata kaki. Untung saja, sepatu ¾ yang kupakai masih mampu membalut kaki ini dari lumpur-lumpur sisa mobil hartop khas jalan berlumpurl. Tak mampu lagi berjalan karena didera perut yang kosong, kuputuskan untuk singgah saja di sebuah rumah berhias sebiji lampu pijar. Lampu yang kadang padam karena pasokan tenaga yang minim. Kata si pemilik rumah, hanya dinamo kecil yang dipasang di aliran sungai sebagai pembangkit tenaga si lampu pijar mungil. Pantas saja kelihatan redup, persis seperti cahaya lilin yang tertiup angin sepoi. Kadang terang, kadang pula redup tak bercahaya. Kami menginap di rumah itu. Mantap…… dingin malam khas daerah pegunungan mulai menusuk sampai ke tulang sum-sum. Untung saja sleeping bag mampu menghangatkan lelapku sampai fajar kembali nampak dari celah gunung sebelah timur.

HARI-2
Tulang punggungku terasa ngilu pagi itu. Mungkin karena semalaman menggendong carrier 120 L yang masih padat terisi ransum, ditambah pula olahraga di atas truk yang sempat membuat ciut nyaliku. Kurapikan kembali carrierku. Begitu pula saudaraku yang lain. Kami pamitan dengan sang pemilik rumah, sebelum membelah hening pagi itu dengan langkah sedikit cepat. Artinya sama dengan kecepatan berjalan normal jika tanpa beban. celakanya, seringkali langkah kaki perkasa itu terhambat lumpur yang sama sekali tak mau memberi ruang untuk berpijak. Ya, sudahlah! Kata Bondan Prakoso…. Biar saja sepatu ini berubah warna menjadi cokelat. Tawa saudara-saudaraku terdengar ketika melihat sepatu kami menjadi satu warna seperti kumpulan anak SD yang sebentar lagi akan mengikuti perhelatan gerak jalan indah acara HUT RI. Tiga jam berjalan, kami tiba di dusun sebelah, sebuah kampung yang kelihatannya agak ramai, Rantelemo namanya. Dari situ, target destinasi kampung terakhir masih tersisa empat kilometer menurut warga sekitar. Kembali kami duduk sejenak di halaman sebuah rumah dipenuhi bunga indah di balik pagarnya. Cukup untuk melepas lelah dan menikmati sebatang rokok dengan secangkir teh buatan ibu pemilik rumah. Pekat dan manis, mengalahkan teh dingin di kota metropolitan yang biasa kuteguk dari botol kaca. Botol kaca mungil berlabel softdrink, buatan pabrik dalam negeri yang menjadi andalan warung-warung tepi jalan melengkapi padatnya kota Makassar. Entah racikan seperti apa yang membuat teh itu terasa mampu mengembalikan tenaga yang terkuras sedari tadi. Terima kasih ibu!!!!!!!!! Kau telah mengisi kepingan kisah pendakian ini walau hanya sekedar beberapa menit saja.
Ketika nafas sudah mulai normal kembali, kami terus bangkit dari tembok lantai halaman tuk kembali melangkah ke tempat dimana kaki Gunung Latimojong berpijak. Dusun “Karangan” namanya. Lengkap sudah lelah ini akibat tanjakan yang tak kunjung berakhir. Berliku dan tak ada habisnya sampai tak ingin lagi rasanya bersuara. Pantas saja, tak ada canda tawa yang mengiringi langkah sepanjang jalan menuju kampung itu. Kami sempat menikmati kopi dan sedikit cemilan sesampai di perkampungan itu. Agak lama kami duduk sebelum memasuki pintu rimba kaki gunung. Kunyalakan GPS, kulirik ketinggian tempat itu. 1419 mdpl…… pantas saja terasa dingin mulai menghambat nafasku, pedis rasanya. Kuraih raincoat hitam dan kupakai rapi agar baju kebanggaan bertuliskan EDELWEIS di dada tak basah diguyur hujan yang mulai turun. Begitu gagah rasanya memakai baju itu. Ada kebanggaan tersendiri yang kurasa walau hanya selembar baju yang persis sama bahan dasarnya dengan baju-baju lain. Mungkin karena rasa cinta dan segenggam ilmu yang kudapat dari tulisan yang terpampang di dadanya. Kami terus melangkah menyusuri setapak sempit dikelilingi pohon kopi. Naik turun punggungan ke punggungan yang lain. Lututku rasanya seperti ingin jatuh ke tanah. Kadang bergetar dan membuat langkah ini terhenti tuk sejenak melabuhkan punggung ke rerumputan di pinggir jalan setapak. Untung saja persiapan fisik sebelum berangkat sudah kupermantap. Target sore itu, kami mampu menembus pos 2 tanpa ada yang tahu jelas, jalan mana yang harus kami susuri. Hanya sedikit informasi yang selalu segar dalam ingatanku menjadi penuntun langkah ini akan dibawa kemana. Lega rasanya setelah melewati berbagai tanjakan, menyisir lereng panjang, bahkan sempat kesasar ke jalur lain, kami tiba di tepi sungai dimana sebuah bongkahan batu besar menjuntai membentuk ruang nyaman di bawahnya. Itulah pos 2. Deru air sungai menghiasi istirahat kami malam itu. Ditambah lagi suasana di bawah “bivouk alami” menjadikan malam itu menjadi salah satu memori indah petualangan ini. Benar-benar sebuah nuansa outdoor yang dapat melahirkan beribu rangkaian kata indah saat menggoreskan tinta di sebuah notebook Kecil. Notebook yang selalu saja merengek ingin ikut serta dalam tiap perjalananku. Banyak bait puisi yang mampu tercipta untuk menyentuh hati sang kekasih tercinta, goresan singkat tanda terima kasih buat sosok wanita yang melahirkan. Saat itu pula, terkenang lagi wajah ibu tercinta nun jauh disana. Ahhh…!tak ingin kuteruskan khayalan itu. Akan panjang lamunanku jika terus-terusan berimajinasi. Saat ku sudah tak mampu lagi bersimpuh rapi di hadapan lilin, ku berdiri beranjak masuk ke dalam tenda yang sudah siap dengan matrasnya. Berbaring di samping saudara-saudaraku yang lebih dulu berlabuh dalam buai mimpi masing-masing. Sungguh, tidur dibaluti sleeping bag dalam tenda ini memang tak ada tandingannya waktu itu. Dingin menusuk di pos 2 dipadu dengan deru air sungai menemani lelap kami menerobos malam di Gunung Latimojong.
HARI – 3
Pagi hadir diiringi gerimis menetes, seperti biasa badan terasa pegal dan berat rasanya tuk bangkit dari pembaringan. Janji tuk berangkat lebih awal sepertinya sulit terlaksana. Dingin mengalahkan hembusan nafas hangat rongga hidungku. Tubuhku menggigil keras pagi itu. Fikiranku melayang jauh, entah apa yang kufikirkan saat itu. Kulirik saudaraku disamping masih terus nikmat dengan tidurnya. Dingin sepertinya sudah tak dirasakannya lagi akibat lelah berjalan seharian. Tapi itu tak membuat surut niatku untuk membangunkan mereka. Aku tak mau kalah oleh rasa simpati dan kasihan walau aku tahu kalau mereka benar-benar lelah. Jika ingin kuturuti simpati ini, barangkali kami sudah tak sempat lagi melihat embun pagi hari yang berlabuh di daun-daun segar milik belantara Latimojong.. Sembari menggulung matras hitamku, kubangunkan satu persatu tuk segera bersiap karena sang suria tak lagi dalam posisi terbit. Walau agak lamban gerakannya, aku tak mahu bersungut karena kutahu bukan tanpa alasan mereka tidak mampu bergerak cepat. Sebuah lingkaran yang biasa kami bentuk tiap kali akan memulai langkah di pagi hari kembali terlihat. Merunduk sejenak, mengingat sang ilahi yang menjadi tempat kami memohon perlindungan. Itulah yang menjadi tumpuan harapanku, apapun rintangan yang akan kami lalui, kuyakin bahwa sang khalik pasti bersama kami,petualang muda perkasa yang tak pernah surut dihantam keras petualangan. Kusapu wajahku dengan kedua belah tangan tanda doa usai. Kupimpin saudara-saudaraku sedikit demi sedikit melangkahi jalur yang sudah kelihatan licin diguyur hujan semalam. Tak ingin rasanya ku mendongak ke atas melihat kemiringan jalur itu. Lumayan ekstrim dan menakutkan. Terus saja merunduk sembari menyibak dedaunan pohon yang coba menghalangi pandangan mata. Terkadang, harus pula kupegang erat akar-akar yang menyembul keluar memberi sedikit ruang untuk mengenggam, ia membantuku mengangkat tubuh naik melewati gundukan setinggi pinggang. Menarik rerumputan liar tuk menerobos pagar daun yang semakin menebal memperlihatkan kalau jalur itu tak sering dilalui. Mereka yang dibelakangku turut melakukan apa yang baru saja kulakukan. Sepertinya saudara-saudaraku mulai kelihatan lelah, begitu pula diriku. Tampak jelas dari wajah dan hembusan nafas yang memburu. Benar saja, tak lama setelah itu saudaraku yang berada dalam posisi sweeper ( belakang ), memintaku berenti sejenak. Kuturuti saja maunya dan langsung mencari posisi tuk melabuhkan carrierku. Hanya kumpulan rumput basah bercampur lumut yang ada. Biar saja basah celanaku, tak kuasa lagi rasanya mencari tempat ideal hanya untuk istirahat beberapa menit. Tanpa melepas carrier yang masih menempel erat dipunggung, kuraih veldples mungil yang sengaja kuselip di pinggir agar mudah kujangkau. Nikmat rasanya meneguk air dari veldples itu, dinginnya masih mampu menyegarkan tenggorokan yang sudah kering. Air segar nan bening, jernih bak air mineral dengan harga yang tak mampu dijangkau oleh sebagian warga pinggiran kota. Entah mengapa sampai hal seperti itu juga sempat terlintas di benakku. Biar saja, agar lelah tidak terlalu terasa….. Barangkali salah satu nilai yang harus kutanam di hati bahwa dibalik keramaian kota dan sepinya balantara, banyak hal yang perlu direnungi untuk diperbaiki. Sayangnya, aku bukanlah seorang orator ganas yang tergabung dalam aliansi mahasiswa. Menyusun sebuah konsolidasi dan acap kali turun ke jalan dengan suara lantang meneriakkan kata keadilan. Berteriak tanpa henti, sampai jalanan harus macet total menghambat laju aktivitas kota metropolitan. Aku hanyalah bagian dari para sivitas akademika. Tiap hari lalu-lalang di seputaran kampus menuju ruang kuliah dan kadang ikut duduk manis di kursi kantin dengan kepulan asap rokok menghiasi canda tawa bersama teman-teman. Terkadang pula nongkrong di pendopo indah milik taman secretariat MAPALA EDELWEIS, sambil melempar beberapa biji makanan untuk ikan emas cantik di kolam kecil. Kampusku memang indah berseri, tapi entah mengapa kadang rasa jenuh tak bisa dipungkiri, itulah mengantarku terduduk letih di atas rerumputan ini. Alam ini indah, asri dan murni. Semua dapat diperoleh dengan mudah dan menyajikan kesegaran luar biasa. Mungkin itu salah satu alasan mengapa aku merasa tergugah untuk selalu berkunjung ke taman alami ini tuk melestarikan kedamaian yang ada. Semoga bisa terbawa sampai di metropolitan dan dapat memberikan pelajaran berharga.
Beberapa pos kami lewati dengan medan yang bervariasi. Hanya semangat dan tekad yang tersisa ketika kami sampai di sebuah titik dengan tanah yang agak lapang tapi tetap tertutup oleh rimbunnya daun dari pohon di sekitar. Sebuah plat terpasang di dahan pohon betuliskan pos 5 dilengkapi ketinggian serta titik koordinatnya. Cukup informatif usaha dari mereka yang memasang plat itu. Tempat itu luas dan agak bersih dari lumut-lumut. Mungkin karena sering terinjak sepatu para penjelajah sampai tak sesubur kumpulan lumut lainnya. Waktu itu, bukan hanya kami yang berdiri di situ. Saat tiba, sudah ada beberapa tenda yang tertata rapi menyambut kedatangan kami. Senyap dan hening, petanda tak ada pemiliknya disitu. Berarti bukan hanya aku dan empat saudaraku yang sedang berkelana di seputaran gunung ini. Barangkali mereka sedang berjuang menuju ke puncak tanpa barang bawaannya. Sebentar lagi pasti akan kembali karena hujan mulai membasahi segenap penjuru. Secepat kilat, aku dan saudara-saudaraku melebarkan flysheet untuk berteduh dan memasak makan siang waktu itu. Hujan tak mau reda, dan itu membuat udara semakin menusuk rongga hidung. Hembusan nafas dari rongga mulut tampak mengeluarkan kepulan asap petanda udara memang dingin. Sepertinya kondisi itu memaksa kami untuk memasang tenda. Menginap adalah satu-satunya jalan menghindari cuaca buruk. Waktu terus berlalu sampai pada sore hari menjelang maghrib, sang pemilik tenda lain berdatangan dari atas. Tampak jelas mereka sedang kedinginan. Basah kuyup dan tak mampu bicara banyak akibat didera dingin ketinggian tiga ribuan. Hujan tak mau reda, sama sekali enggan memberi ruang bagi kami untuk bisa menikmati segarnya udara sekitar. Terus mengguyur sampai kami juga harus melewati malam di tenda dihibur bunyi percikan air di flysheet di atas tenda. Lembaran parasut tipis yang begitu berarti saat hujan datang bertamu di bumi pertiwi. Walau hujan, lelap tak mampu tertahan akibat lelah seharian menempuh medan dengan kemiringan hampir 80o itu. Sungguh sebuah petualangan melelahkan…
HARI IV
Rencana kami untuk berangkat ke puncak pagi-pagi sekali lagi-lagi tertunda karena hujan tak mau berhenti sejak kemarin. Yah, mungkin sudah takdir untuk menempuh pendakian panjang ini berteman tetesan air di sekujur tubuh. Tak dapat dielak lagi, kami berangkat ke puncak pagi itu dengan kondisi basah kuyup menerobos hujan yang terus mendera. Seperti biasa, ada saja titik-titik tertentu yang menyuguhkan keindahan luar biasa dan rasanya tak ingin beranjak cepat sebelum puas memandanginya. Kadang saudaraku memaksa untuk berpotret ria mengabadikan sosok tubuhnya berlatar lembah berhias kabut di sekitar. Memang indah tampaknya, sulit menemukannya kalau bukan di ketinggian seperti saat dimana kami berpijak saat itu. Disitu juga beberapa batang rokok sempat habis terbakar di bibir. Nikmatnya dingin dengan aroma tembakau khas Indonesia. Walau itu katanya sangat tidak baik, tapi apalah daya kami yang sudah kecanduan nikotin perusak paru-paru itu. Nikmat dan mantap, hanya beberapa kali hisap saja karena tetesan air hujan merusak gulungan rapi tembakaunya. Sambil asap mengepul, terkadang ku abadikan momen itu dengan kamera mungil tanpa mereka sadari. Lucu juga saat melihat hasil jepretan kamera yang terkesan alami tanpa rekayasa mimik wajah mereka. Tampak asli dan benar-benar memperlihatkan tampang ganas saudara-saudaraku saat di hutan liar. Berbeda ketika ada senyuman yang sengaja dibuat-buat hanya untuk memperindah mimik wajah yang mulai tampak kusam akibat keringat. Sebuah kisah yang sulit terlupakan kala kami bersama menikmati suapan nasi dan sedikit mie rebus dari satu wadah misting. Jemari perkasa milik anak adam itu beradu berhias canda tawa yang tak henti mewarnai lingkaran kecil itu.
Tiap kali ingin melangkah maju, selalu saja kami dihantui kebingungan menentukan arah mana yang harus kami lalui ke puncak sana. Kucoba mengingat kembali semua gambaran yang sempat menjadi pegangan sebelum berangkat. Senior memang menjadi satu-satunya tempat pertanyaanku berlabuh. Semua hal kutanyakan agar tahu kondisi medan dan jalur yang akan kami tempuh nantinya, disamping bermodalkan secuil kemampuan navigasi darat berkat pendidikan dasar beberapa waktu lalu. Yakin dengan jalur yang kupilih, kelihatan saudara-saudaraku mengangguk perlahan tanda setuju dengan keputusanku. Aku tahu kalau mereka menaruh kepercayaan besar padaku, karena itulah aku jadi pemimpin untuk perjalanan kali ini. Jalur-jalur yang kupilih bukan tanpa dasar, karena semua keputusan yang akan kuambil pasti kusampaikan dahulu pada mereka untuk dirembukkan. Hal-hal seperti ini cukup membuat jantungku berdegup kencang disertai perasaan tidak karuan. Kucoba terus melangkah dengan tenang menerobos deras hujan dan lapisan kabut yang mulai memperpendek jarak pandang. Terlihat parit-parit kecil mulai terbentuk alami pada jalur pendakian tempat kami berpijak. Jemari kaki dalam sepatu mulai tergenang air yang menerobos celah sepatu. Makin berat saja kaki ini melangkah. Jalur mulai terkikis sedikit demi sedikit oleh aliran air yang mulai deras. Melaju saling mengejar mencari tempat paling rendah dari muka bumi. Mereka pasti sedang bergembira. Terlintas dalam benakku kalau air-air inilah nanti yang mengisi derasnya sungai nun jauh di bawah sana. Mengalir menuju lautan asin dan akan disambut meriah di muara sana. Mereka mengalir begitu saja, tanpa berfikir dan tidak punya tujuan jelas yang akan dituju. Beda halnya dengan aku dan saudara-saudaraku yang masih terus melangkah perlahan mencari sang trianggulasi tunggal di puncak sana. Terus berpikir dengan sejumlah keraguan antara benar dan salah. Sedikit salah akan fatal jadinya, itulah resiko bertualang. Sudah agak lama melangkah sedikit demi sedikit, melalui bongkahan-bongkahan batu besar yang tampak berwarna gelap. Kurasa destinasi yang kami tuju sudah semakin mendekat. Dugaanku tidak meleset. Ketika lepas dari kumpulan pohon lebat dan berdiri di titik yang agak lapang, sesaat kumendongak memandangi punggungan yang lebih tinggi di depan mata. Terlihat samar dari kejauhan sebuah tiang kokoh berdiri mantap seakan sudah menanti kedatangan petualang muda EDELWEIS. Itulah trianggulasi beton milik puncak Gunung Latimojong. Kuberpaling dan tersenyum pada saudara-saudaraku. “trianggulasi!!!!!”, kataku sambil menunjuk ke atas sana. Sekilas semua tersenyum dan berhenti sejenak menatap dari kejauhan. Rasanya sudah tidak sabar lagi tuk memeluk persegi panjang dari beton itu. Langkahku sedikit demi sedikit berubah menjadi lari-lari kecil. Kuhembuskan nafas panjang dan menengadah ke atas tanda ucapan syukurku pada-Nya saat kusentuh dinginnya trianggulasi itu. Sejenak kuberkata bahwa tak ada seorang pun yang berdiri lebih tinggi di atasku di pulau Sulawesi, karena aku sedang berdiri di atapnya untuk saat itu. Akulah yang tertinggi, lebih tinggi dari mereka yang duduk di singgahsana Dewan Perwakilan Rakyat di Ibu Kota. Lebih tinggi dari orang nomor satu di republik ini. Tapi bukan itu yang kucari bersama saudara-saudaraku. Semangat kebersamaan, solidaritas pertemanan, serta karena rasa candu tuk selalu melihat betapa besar keagungan tuhan. Tuhan yang menjadi pencipta sekaligus pemilik dari alam semesta ini. Itulah yang menjadi bagian dari petualangan ini, sebagai rangkaian tujuan mengapa tekad ini begitu bulat untuk tetap melangkah mencapai pijakan tertinggi. Sekali lagi kami melingkar dan kupimpin mereka mengucapkan ribuan rasa syukur kepada-Nya, serta panjatan doa agar selamat kembali ke rumah abadi EDELWEIS. Waktu itu pula, kami sejenak mengibarkan bendera dengan latar kuning kebanggaan EDELWEISER. Selembar kain berukuran 1 x 1 meter bertuliskan “UNIT KEGIATAN MAHASISWA PECINTA ALAM EDELWEIS” menjadi hiasan potret kami bersama trianggulasi puncak Latimojong. Sekitar lima belas menit di puncak,tak mampu lagi kutahan dingin tubuh ini. Bergetar tubuhku sampai barisan gigi saling beradu menimbulkan bunyi tak karuan. Sebentar saja, kami berlalu meninggalkan trianggulasi itu terlarut dalam sepinya puncak. Ia tak pernah takut sendiri dihantam badai dan dinginnya singgahsananya, walau hening waktu terus menghantui keberadaannya. Itulah si trianggulasi pemilik atap Pulau Sulawesi…..

Tak banyak yang dapat kugores dalam cerita singkat ini. Hanya sedikit gambaran luapan kegembiraan kami yang dapat diabadikan dalam tulisan. Siang itu juga, hujan deras tak mampu menghadang langkah kami untuk tetap melangkah menuruni curamnya jalur ke kaki gunung. Basah kuyup, tergelincir dan terjatuh, menjadi hal biasa yang menghibur langkah kaki perkasa ini. Sisa tenaga dari beberapa suap nasi dicampur sedikit mie rebus siang tadi, ternyata masih mampu membawa kami tiba di Desa Karangan, tempat Gunung Latimojong berpijak kokoh. Sebuah rumah panggung khas Sulawesi Selatan, menjadi hotel berbintang tempat kami menginap malam itu. Sungguh nyaman rasanya di rumah itu setelah seharian berjuang menembus liarnya belantara. Kucoba menutup mata agar semua berakhir segera tuk mengawali mimpi malam. Kuterlelap semalaman sebelum esok harinya kami harus kembali menempuh jarak puluhan kilometer akibat longsor yang menghambat transportasi. Tak ada habisnya perjuangan ini, persis seperti seekor kecoa di sudut ruangan yang sedang berjuang membalik badannya. Itulah arti kehidupan sebenarnya. Kami berjalan sampai sore hari, jemari kakiku mulai terasa encok dan perih. Tapi semua itu makin tak terasa ketika saudara-saudaraku memainkan kelihaianya memancing selera humor teransang cepat. Canda dan tawa selalu membuat kami lupa kalau jarak yang sudah kami tempuh dengan langkah kaki ini bukanlah jarak yang bisa ditempuh semua orang. Maghrib menyambut, dan kami tiba di destinasi kami..
Aku tersenyum lebar melihat saudara-saudaraku tertawa cikikikan saat cerita-cerita kami kembali terdengar di mobil. Mobil angkutan malam yang mengantar kami kembali ke kota metropolitan Makassar. Semua diputar kembali dan tentunya akan menjadi bagian dari kisah-kisah petualangan pemuda BUNGA ABADI EDELWEIS. Sekian…….salam Leontopodist……….. Salam lestari……… sampai jumpa di petualangan berikutnya.

0 komentar:

  © ichal_bandot punya 'E.103' by kottink_paribek 2008

Back to TOP