Kearifan Lokal dan Pesona yang Sarat Nilai Kehidupan
Begitu banyak perihal atau fenomena unik di pelosok negeri yang sepatutnya diketahui oleh masyarakat kita. Tidak hanya soal keindahan dan hijau semesta yang tersaji, tapi adat budaya khas nusantara yang memang menjadi hak milik serta kewajiban kita semua untuk mengerti dan memahaminya. Sudah sekian tahun bahkan dekade, orang-orang menuliskan cerita panjang dan bukti-bukti ilmiah tentang keberadaan kearifan lokal. Sajian tulisan berupa fiksi maupun non-fiksi berjejer begitu rapi mengisi toko-toko. Akhirnya, dibeli dan dikonsumsi masyarakat awam. Namun, perubahan justru tak kunjung datang, malah semakin terpuruknya mental pemuda dan birokrasi yang kian amburadul. Laju perkembangan mesin cyber dari kemilau gadget mengincar pemuda bersikap pragmatis dan lalai. Budaya interaksi yang bersifat mempererat tali persaudaraan tertutupi oleh semaraknya Game Online, partai politik dan koleganya saling lempar kursi dalam sidang paripurna, ditutup dengan sangat apik oleh egoisme institusi melalui gejolak pertengkaran antar sesama karena persoalan yang sangat tidak produktif. Sedikit banyak penyebab dari keterpurukan tersebut adalah karena lupa akan identitas, luput dari ungkapan sederhana akan siapa dan darimana asalnya kita. Oleh sebab itu, perihal yang substansial dan perlu kita perbincangkan dalam beberapa alinea ini, akan mengulas singkat tentang kearifan lokal yang mulai tersisihkan.
Bukan sebuah hal yang baru bagi kita bila membahas persoalan kearifan lokal. Hanya saja, keinginan untuk mengetahui dan memahaminya masih terbilang di bawah rata-rata. Beberapa kalangan memandang konsep kearifan lokal semata-mata sebagai perilaku tradisionil masyarakat pedesaan atau wilayah terisolir. Ada pula yang menganggapnya sebagai simbol keterbelakangan dan ketidakmampuan untuk mengakses perangkat global. Kemudian beberapa kaum elit menginterpretasikannya sebagai tindak perilaku primitif semata. Ada juga yang berasumsi bahwa konsep kearifan lokal ini adalah sebagai wujud paham atau kepercayaan dari suatu komunitas. Semua sudut pandang tersebut tidaklah salah. Sebab, kita tidak dapat menentukan kebenaran mutlak tanpa adanya bukti empiris dan rasional. Namun, perlunya suatu kajian mendalam sangat dibutuhkan demi benar-benar mencerahkan kita akan makna kearifan lokal itu sendiri. Dalam beberapa dialog khusus dan catatan para antropolog dalam kunjungannya di komunitas atau wilayah tertentu, terdapat sejumlah situasi dan aksi, yang bahkan penulisnya sendiri mengalami kebingungan untuk memaknainya. Prof.Stuart A. Schlegel menuangkan catatan penelitiannya dalam buku “Wisdom From A Rain Forest” tentang masyarakat pedalaman Teduray di Figel Filifina, menyangkut kebiasaan spiritual masyarakat tersebut. Dia menemukan suatu paham yang sontak membuatnya sadar, bahwa dunia ini tidaklah hanya berdiri pada satu dimensi, melainkan saling memiliki keterkaitan yang paralel antara dunia nyata dan dimensi kosmos. Dia mencoba untuk memasuki ranah berfikir masyarakat lokal dan menjadi bagiannya agar dapat memahami konsep yang berlaku. Sehingga, dia menemukan suatu pola berfikir dan paham yang begitu kompleks dari komunitas masyarakat lokal yang tribal itu. Kebiasaan yang ditemui oleh Prof. Stuart ini kelihatan sangat dekat dengan kebiasaan ritus di sebagian besar masyarakat Timur. Masyarakat yang mencoba menarik sebuah garis horizontal antara kehidupan nyata dengan dimensi kehidupan yang lain. Melalui ritus-ritus, mereka melakukan komunikasi terhadap dunia kosmos demi mencapai suatu keseimbangan yang dapat diasosiasikan sebagai suatu keseimbangan dalam kehidupan. Baiklah, mari kita sedikit mendekatkan ruang opini ini lebih ke arah di mana kita berpijak dan menjunjung langit. Membahas persoalan kearifan Lokal akan menjadi runyam dan tidak tentu arah apabila kita ingin menggelar ulasan umum secara menyeluruh, dan tentu akan menghabiskan waktu yang relatif panjang hanya untuk menangkap makna siapa kita sebenarnya. Kearifan lokal itu sendiri bukanlah lahir dari Indonesia saja. Bahkan seluruh pelosok negeri, dan celah-celah benua timur dan barat telah merekam begitu banyak perilaku-perilaku tribal yang dapat dikategorikan sebagai kearifan lokal. Bukan hanya aktifitas fisik, yang dapat kita kunyah mentah melalui indera kita secara visual, tapi juga menyangkut paham, pola, dan realitas dimana keampuhan“gadget” masa kini tidak punya aplikasi khusus untuk mengaksesnya dan meramunya menjadi lebih mudah dipahami. Kearifan lokal juga merupakan cerminan dari pola perilaku, dan juga sejarah perjalanan panjang suatu komunitas yang dituangkan melalui media yang unik, bahkan sangat membuat terperangah para ahli atau pakar sains dan akademik yang pernah mencoba menelusuri dunia gelap dan temaramnya peradaban di kedalaman negeri. Nah, sebelum itu, akan lebih baik bila kita mencoba untuk mengekstrak secara literal maksud dari kearifan lokal itu sendiri. Secara terminologis, kearifan lokal berasal dari bahasa inggris yang kemudian dialihkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia dengan kaidah “dijelaskan-menjelaskan”. Dalam bahasa Inggris, konsep ini disebut local wisdom. Dalam Kamus Inggris-Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam disiplin antropologi dikenal istilah lokal genius. Kemudian, Gobyah(2003),mengatakan bahwa kearifan lokal(local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah.Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Beberapa definisi ilmiah di atas menggiring kita untuk melahirkan berbagai asumsi yang menarik. Nah, setelah memiliki asumsi tersendiri terkait kearifan lokal itu, bentuk-bentuk kearifan lokal apa saja yang dapat kita temui di wilayah kita? Sebagaimana yang sempat disebutkan pada alinea sebelumnya, pemahaman tentang konsep kearifan lokal harus kita persempit agar sesuai dengan identitas kita. Meskipun beberapa diantaranya cukup menunjukkan perbedaan yang signifikan antara satu dengan yang lain, namun terdapat nilai yang berlaku secara universal dan dapat diadopsi oleh siapa saja, bahkan individu yang berasal dari luar komunitas. Di setiap wilayah yang ada di Nusantara, tentulah memiliki kearifan lokalnya masing-masing. Kebanyakan diantaranya memang benar memiliki nilai yang bersifat universal seperti yang diungkap Gobyah dalam definisinya. Sulawesi Selatan contohnya, memiliki wilayah Toraja yang kian merambah dunia internasional dengan mengusung adat budayanya yang unik dan kaya akan keberagaman simbol-simbol tentang kehidupannya, baik warna maupun corak-corak ukir yang tampil apik di setiap sudut rumah. Namun, apa yang sangat disayangkan dalam hal ini adalah ketidakmampuan masyarakat kekinian dalam memahami makna simbolis yang terkandung di dalamnya, bahkan untuk masyarakat lokal sendiri. Fenomena ini juga berlaku secara universal di Indonesia. Terlebih pada level implementasi yang memang cukup dalam dan sangat kontras dengan kehidupan kekinian yang serba virtual dan pragmatis. Letak kesulitan yang paling nyata adalah bagaimana menghilangkan kecenderungan mengimitasi konsep modernisasi yang kian liar menggerogoti mental kita. Lantas apa yang harus diperbuat demi mengangkat kompleksnya kearifan lokal untuk membunuh kecenderungan tersebut. Kita kembali melihat realita sederhana di sekililing kita. Anak-anak memperagakan budaya berbahasa yang sangat tidak relevan dengan usia. Tingkat kesopanan mulai berubah drastis dan mematikan slogan “sipakatau”(saling menghormati) dalam bahasa lokal bugis. Derasnya arus komunikasi virtual lewat jejaring sosial menggeser budaya “tudang sipulung” yang selama ini menjadi media komunikasi penyelesaian masalah. Interaksi sosial dijangkiti oleh virus individualis dan mereduksi hubungan kekeluargaan diantara kita. Lantas bagaimana posisi kita sebagai pemilik budaya untuk memperagakan orisinalitas warisan leluhur? Nah, mari kita cermati apa yang ingin dituangkan oleh kearifan lokal kita. Dapat kita tarik hipotesa sederhana bahwa segala persoalan yang terjadi, adalah disebabkan oleh luputnya kita dari pemaknaan sekaligus pemanfaatan nilai kearifan lokal. Desa-desa dan kampung-kampung yang masih mempertahankan kearifan lokalnya menunjukkan adanya keharmonisan diantara mereka. Bahkan sampai pada tahapan yang sama sekali tidak terjangkau oleh rasio dan sifat empirik yang sering didengungkan para akademisi. Sebuah Desa pelosok bernama Kalumpang di Sulawesi Barat yang berbatasan dengan Toraja Utara menggelar satu sistem regulasi yang menghubungkan berbagai macam unsur. Seseorang dapat dihukum melalui upacara—Seda—yang mengharuskannya membayar perbuatan bejatnya dengan harga yang sangat mahal. Seseorang wajib menyembelih sejumlah kerbau yang ditentukan oleh tetua adat, demi mengembalikan keharmonisan yang ada diantara masyarakat, berikut properti yang dimilikinya terhadap kekuatan kosmos yang mereka yakini. Sebab, jika keharmonisan tidak segera dikembalikan, maka tanaman yang selama ini dirawat dengan seksama, secara mistik akan diserang oleh hama bahkan akan berdampak buruk pada kehidupan mereka kelak. Konsep tersebut tidaklah sesederhana yang tertera disini. Lebih jauh memasuki dunia mereka, akan membawa kita ke arah perubahan pola pikir. Sebab, lahirnya suatu tindak atau tutur dari masyarakat tribal seperti ini, melewati suatu proses pergulatan pemikiran yang panjang, bahkan begitu filosofis dan merangkum nilai historis perjalanan komunitas tersebut. Oleh karena itu, kemampuan untuk bersikap selektif diperlukan dalam memaknai nilai universal yang ada. Ketajaman rasa atau sensifitas juga akan sangat menopang proses pemaknaan tersebut. Berbicara persoalan kearifan lokal yang memiliki sudut pandang luas ini, cukup banyak yang dapat dipaparkan. Meskipun kita tidak dapat menggambarkannya secara visual, sebab pembicaraan kita hanyalah sekedar mengulas dan mengimajinasikan. Dalam salah satu bait sebuah tembang klasik berjudul “Question”, suatu pesan yang secara tersirat menyampaikan kondisi yang memiliki keterkaitan erat dengan konsep berfikir masyarakat lokal. Tembang ini dimainkan dengan genre lawas oleh Manfred Mann’s Earth Band dalam album The Roaring of silence tahun 1976 dan tenar pada era 80-an. Kehidupan digambarkan sebagai sebuah masalah yang memiliki cerminan wadah tertentu dari dimensi lain sebagai wujud intropeksi diri. _I sat and spoke to those inside of me, They answered my questions with questions and they pointed me into the night. Where the moon was a star-painted dancer, and the world just a spectrum of light…….. to figure out which way was right_ sumber(Musicmatch). Seseorang yang tidak hanya berbicara dengan dirinya sendiri, melainkan menemukan konsep yang berupa spektrum, refleksi dari kehidupannya ada dalam dirinya sendiri. Sehingga, dengan sebuah renungan yang dalam, seseorang dapat menemukan hal terbaik untuk dirinya. Bila diasosiasikan dengan keberadaan kearifan lokal, dapat ditarik suatu kesamaan tentang pola pikir yang terbangun. Bahwa, sesuatu yang dilakukan masyarakat adalah refleksi dari kearifan menjalani hidup itu sendiri. Bijaksana dalam mengambil keputusan dan menjadi panutan bagi dirinya sendiri. Seyogianya, pergulatan pemikiran yang panjang melahirkan pemahaman yang mendalam, sehingga lahirlah kearifan. Kearifan berupa pola perilaku yang diperankan oleh suatu komunitas mencerminkan kebijaksanaan yang dimiliki secara kolektif dan lokal, namun mengkonstruksikan nilai yang bersifat universal. Memahami suatu konsep kearifan lokal atau adat dari suatu komunitas masyarakat tidaklah mudah. Individu yang masuk dalam komunitas tertentu, belum tentu dapat memaknai kearifan lokal yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Terlebih, hadirnya seseorang yang baru dan sama sekali bukan bagian dari komunitas tersebut. Seorang antropolog yang mencoba mengungkap makna dari satu sisi kehidupan masyarakat menghabiskan waktu yang relatif lama dan berjenjang agar bisa memaknai dan mengerti hubungan-hubungan yang tercipta melalui kebiasaan-kebiasaan dan perilaku-perilaku kearifan lokal dari suatu komunitas. Blom dan Gumperz (1972), pakar linguistik antropologi, melakukan riset yang apik dan menghabiskan hampir satu dekade, meneliti penggunaan bahasa Bokmal dan Ranamal terkait fenomena transisi struktur sosial di pedalamanan Hemnesberget di Norwegia. Dari riset yang panjang ini, mereka menemukan suatu kebiasaan unik untuk saling menghargai antar golongan yang berbeda tingkatan sosial tanpa mengganggu independensi berbahasa masing-masing. Kemudian Gal(1979) seorang antropolog, menghabiskan waktu satu tahun tinggal bersama satu keluarga lokal di Oberwart, Austria Timur, Dorian (1981) selama lebih dari satu dekade meneliti kebiasaan perilaku masyarakat lokal di bagian Timur Sutherland, dataran tinggi Scotlandia. Nah, dari contoh-contoh ini, tentu dapat dipahami dengan mudah bahwa memaknai tidaklah sederhana, butuh waktu lama dengan pendalaman yang signifikan. Maka dari itu, paragraf deskriptif berisi opini singkat ini mencoba untuk mengajak sekaligus mengevaluasi perilaku kekinian melalui pendekatan kearifan lokal yang memiliki paket kebijaksanaan yang di luar ambang batas. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa, melihat kearifan lokal itu tidak hanya dengan satu sudut pandang saja. Ia terbangun oleh suatu konsep yang kompleks dan membutuhkan kecerdasan emosional untuk merasakan eksistensinya. Dalam hal ini, berbagai fenomena dalam masyarakat dapat terlihat secara kasat mata, dengan frontal melanggar nilai yang ada. Beberapa juga berhasil mengadopsi dan menikmati betapa bermanfaatnya memahami suatu kearifan lokal. Tepat satu dekade yang lalu, publik dikejutkan oleh sebuah penemuan, pemikir independen Jepang, Masaru Emoto pada Maret 2005 melakukan riset panjang terhadap keajaiban air. Melalui Tema “The True Power of Water” dan “The Hidden Message in Water”, Masaru benar-benar membuat masyarakat dunia mulai mengakui bahwa, setidaknya apa yang sering dilakukan masyarakat tribal bukan hanya sekedar perilaku primitif yang sering diasumsikan sebagai “the act of taboos”(perilaku tabu). Meskipun menuai begitu banyak kritikan dan kecaman, penulisan riset ini mendapatkan apresiasi besar oleh masyarakat dunia. Riset ini membuktikan kekuatan air dengan menggunakan kamera kecepatan tinggi. Akibat langsung dari pikiran dekstruktif, pikiran cinta, dan apresiasi terhadap pembentukan kristal air berdampak positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan planet kita. Air-air yang dibisikkan dengan kata-kata tertentu menimbulkan reaksi yang mampu menyembuhkan penyakit. Pernahkah kita melihat dukun-dukun yang menggunakan media air sebagai alat penyembuhannya? Seketika kita akan berfikir secara rasional bahwa perilaku seperti itu hanyalah simbolis belaka, dan sama sekali tidak dapat memberikan kontribusi dalam dunia medis. Kenyataannya, para ilmuan ini menemukan titik balik unsur keilmiahan pada perilaku tersebut. Meskipun, ketika diasosiasikan dengan kearifan lokal terkait, secara teknis memang sulit disandingkan dengan dunia sains. Kemudian, ingatkah kita dengan keramatnya pohon-pohon yang tumbuh di atas sumur tua milik masyarakat di kampung? Sehingga muncul ketakutan warga untuk menebangnya meski pohon-pohon yang ada sangat potensial untuk dijadikan properti rumah. Tidak akan ada yang ingin berfikir bahwa keberadaan makhluk astral yang menghuni pohon-pohon keramat itu adalah sebatas mitos saja. Masyarakat desa sepenuhnya percaya dengan mitos yang berkembang, ditambah dengan cerita mistik yang marak diceritakan. Nah, dari peristiwa keramat ini, nilai-nilai melestarikan sumber kehidupan tercipta dengan sendirinya. Bahwa, adanya flora yang mengelilingi sumber mata air, sehingga daya serap tanah semakin tinggi dan dapat menghasilkan sumber air secara berkelanjutan guna mensuplai sumber air pada sumur tadi. Bukankah menarik jika kita menarik kesimpulan sederhana dari fenomena di atas, bahwa melestarikan alam sangat penting dalam menunjang kehidupan. Masih terlalu banyak fenomena dalam masyarakat yang mesti dipahami dengan tepat dan diekstrak nilainya seperti kasus di atas. Terlepas dari manfaat yang ada, kesalahan persepsi juga muncul ditengah-tengah kita dan mengancam keberlangsungan nilai secara kolektif. Sebagian masyarakat muda Makassar contohnya, dengan gamblang mereduksi nilai-nilai “siri na pacce” dalam performa kehidupan sosial. Kasus yang sangat disayangkan ini merambah kalangan muda dengan cepat, mengisi kepala mereka dengan paham yang “out of context” dan merusak tatanan yang ada. Slogan yang sarat akan nilai kebijaksanaan dalam berfikir dan bertindak ini, kemudian beramai-ramai disalahartikan dan akhirnya melahirkan budaya baru. Kebiasaan yang lebih mengedepankan luapan emosi daripada fikiran matang. Bergesernya pemahaman terhadap nilai ini kemudian berhasil menciptakan berbagai macam polemik negatif. Tak pelak, berbagai makian tumpah-ruah secara sporadis mengisi media terhadap perilaku masyarakat Makassar. Tentu saja, ujung dari kasus ini akan menimbulkan permasalahan yang runyam. Sayangnya, fenomena seperti ini tidak bisa dihindari. Namun,yakinlah bahwa suatu waktu nanti bahkan suatu komunitas tertentu akan menghancurkan dirinya sendiri akibat kesalahan persepsi yang berkembang. Nah, apa yang coba diutarakan oleh tulisan ini adalah sebuah upaya untuk mengembalikan kekayaan kearifan lokal yang ada. Oleh sebab itu, mengenali adat dan budaya yang ada dalam masyarakat kita seharusnya menjadi hal yang substansial untuk difikirkan oleh jajaran elit penentu kebijakan arah bangsa, bahwa arah kita akan menjadi tidak terkendali bila kearifan lokal dibuang percuma. Dari penjelasan singkat ini, ekpektasi primer yang diinginkan adalah untuk membangun suatu pemahaman dan interpretasi terhadap keberadaan kearifan lokal yang ada. Bertujuan untuk menghindari kesalahan interprestasi, tetapi mempertahankan dan memperagakannya dalam konsep dasar aturan bermasyarakat. Meskipun jelas diuraikan bahwa perkara ini tidak mudah diimplementasikan, maka perlu menjadi acuan bagi kita semua agar kembali merujuk pada kemampuan berfikir alami para pendahulu yang kini coba diilmiahkan oleh para ilmuwan. Nah, untuk menghindari rasa ketidakpercayaan terhadap muatan yang ada pada kearifan lokal, akan lebih baik bila kita mencoba untuk memahaminya dari sudut pandang kita masing-masing. _Faisal Bin Asse / NRA: E.103.09.L.A.89.FIB-UH
Bukan sebuah hal yang baru bagi kita bila membahas persoalan kearifan lokal. Hanya saja, keinginan untuk mengetahui dan memahaminya masih terbilang di bawah rata-rata. Beberapa kalangan memandang konsep kearifan lokal semata-mata sebagai perilaku tradisionil masyarakat pedesaan atau wilayah terisolir. Ada pula yang menganggapnya sebagai simbol keterbelakangan dan ketidakmampuan untuk mengakses perangkat global. Kemudian beberapa kaum elit menginterpretasikannya sebagai tindak perilaku primitif semata. Ada juga yang berasumsi bahwa konsep kearifan lokal ini adalah sebagai wujud paham atau kepercayaan dari suatu komunitas. Semua sudut pandang tersebut tidaklah salah. Sebab, kita tidak dapat menentukan kebenaran mutlak tanpa adanya bukti empiris dan rasional. Namun, perlunya suatu kajian mendalam sangat dibutuhkan demi benar-benar mencerahkan kita akan makna kearifan lokal itu sendiri. Dalam beberapa dialog khusus dan catatan para antropolog dalam kunjungannya di komunitas atau wilayah tertentu, terdapat sejumlah situasi dan aksi, yang bahkan penulisnya sendiri mengalami kebingungan untuk memaknainya. Prof.Stuart A. Schlegel menuangkan catatan penelitiannya dalam buku “Wisdom From A Rain Forest” tentang masyarakat pedalaman Teduray di Figel Filifina, menyangkut kebiasaan spiritual masyarakat tersebut. Dia menemukan suatu paham yang sontak membuatnya sadar, bahwa dunia ini tidaklah hanya berdiri pada satu dimensi, melainkan saling memiliki keterkaitan yang paralel antara dunia nyata dan dimensi kosmos. Dia mencoba untuk memasuki ranah berfikir masyarakat lokal dan menjadi bagiannya agar dapat memahami konsep yang berlaku. Sehingga, dia menemukan suatu pola berfikir dan paham yang begitu kompleks dari komunitas masyarakat lokal yang tribal itu. Kebiasaan yang ditemui oleh Prof. Stuart ini kelihatan sangat dekat dengan kebiasaan ritus di sebagian besar masyarakat Timur. Masyarakat yang mencoba menarik sebuah garis horizontal antara kehidupan nyata dengan dimensi kehidupan yang lain. Melalui ritus-ritus, mereka melakukan komunikasi terhadap dunia kosmos demi mencapai suatu keseimbangan yang dapat diasosiasikan sebagai suatu keseimbangan dalam kehidupan. Baiklah, mari kita sedikit mendekatkan ruang opini ini lebih ke arah di mana kita berpijak dan menjunjung langit. Membahas persoalan kearifan Lokal akan menjadi runyam dan tidak tentu arah apabila kita ingin menggelar ulasan umum secara menyeluruh, dan tentu akan menghabiskan waktu yang relatif panjang hanya untuk menangkap makna siapa kita sebenarnya. Kearifan lokal itu sendiri bukanlah lahir dari Indonesia saja. Bahkan seluruh pelosok negeri, dan celah-celah benua timur dan barat telah merekam begitu banyak perilaku-perilaku tribal yang dapat dikategorikan sebagai kearifan lokal. Bukan hanya aktifitas fisik, yang dapat kita kunyah mentah melalui indera kita secara visual, tapi juga menyangkut paham, pola, dan realitas dimana keampuhan“gadget” masa kini tidak punya aplikasi khusus untuk mengaksesnya dan meramunya menjadi lebih mudah dipahami. Kearifan lokal juga merupakan cerminan dari pola perilaku, dan juga sejarah perjalanan panjang suatu komunitas yang dituangkan melalui media yang unik, bahkan sangat membuat terperangah para ahli atau pakar sains dan akademik yang pernah mencoba menelusuri dunia gelap dan temaramnya peradaban di kedalaman negeri. Nah, sebelum itu, akan lebih baik bila kita mencoba untuk mengekstrak secara literal maksud dari kearifan lokal itu sendiri. Secara terminologis, kearifan lokal berasal dari bahasa inggris yang kemudian dialihkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia dengan kaidah “dijelaskan-menjelaskan”. Dalam bahasa Inggris, konsep ini disebut local wisdom. Dalam Kamus Inggris-Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam disiplin antropologi dikenal istilah lokal genius. Kemudian, Gobyah(2003),mengatakan bahwa kearifan lokal(local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah.Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Beberapa definisi ilmiah di atas menggiring kita untuk melahirkan berbagai asumsi yang menarik. Nah, setelah memiliki asumsi tersendiri terkait kearifan lokal itu, bentuk-bentuk kearifan lokal apa saja yang dapat kita temui di wilayah kita? Sebagaimana yang sempat disebutkan pada alinea sebelumnya, pemahaman tentang konsep kearifan lokal harus kita persempit agar sesuai dengan identitas kita. Meskipun beberapa diantaranya cukup menunjukkan perbedaan yang signifikan antara satu dengan yang lain, namun terdapat nilai yang berlaku secara universal dan dapat diadopsi oleh siapa saja, bahkan individu yang berasal dari luar komunitas. Di setiap wilayah yang ada di Nusantara, tentulah memiliki kearifan lokalnya masing-masing. Kebanyakan diantaranya memang benar memiliki nilai yang bersifat universal seperti yang diungkap Gobyah dalam definisinya. Sulawesi Selatan contohnya, memiliki wilayah Toraja yang kian merambah dunia internasional dengan mengusung adat budayanya yang unik dan kaya akan keberagaman simbol-simbol tentang kehidupannya, baik warna maupun corak-corak ukir yang tampil apik di setiap sudut rumah. Namun, apa yang sangat disayangkan dalam hal ini adalah ketidakmampuan masyarakat kekinian dalam memahami makna simbolis yang terkandung di dalamnya, bahkan untuk masyarakat lokal sendiri. Fenomena ini juga berlaku secara universal di Indonesia. Terlebih pada level implementasi yang memang cukup dalam dan sangat kontras dengan kehidupan kekinian yang serba virtual dan pragmatis. Letak kesulitan yang paling nyata adalah bagaimana menghilangkan kecenderungan mengimitasi konsep modernisasi yang kian liar menggerogoti mental kita. Lantas apa yang harus diperbuat demi mengangkat kompleksnya kearifan lokal untuk membunuh kecenderungan tersebut. Kita kembali melihat realita sederhana di sekililing kita. Anak-anak memperagakan budaya berbahasa yang sangat tidak relevan dengan usia. Tingkat kesopanan mulai berubah drastis dan mematikan slogan “sipakatau”(saling menghormati) dalam bahasa lokal bugis. Derasnya arus komunikasi virtual lewat jejaring sosial menggeser budaya “tudang sipulung” yang selama ini menjadi media komunikasi penyelesaian masalah. Interaksi sosial dijangkiti oleh virus individualis dan mereduksi hubungan kekeluargaan diantara kita. Lantas bagaimana posisi kita sebagai pemilik budaya untuk memperagakan orisinalitas warisan leluhur? Nah, mari kita cermati apa yang ingin dituangkan oleh kearifan lokal kita. Dapat kita tarik hipotesa sederhana bahwa segala persoalan yang terjadi, adalah disebabkan oleh luputnya kita dari pemaknaan sekaligus pemanfaatan nilai kearifan lokal. Desa-desa dan kampung-kampung yang masih mempertahankan kearifan lokalnya menunjukkan adanya keharmonisan diantara mereka. Bahkan sampai pada tahapan yang sama sekali tidak terjangkau oleh rasio dan sifat empirik yang sering didengungkan para akademisi. Sebuah Desa pelosok bernama Kalumpang di Sulawesi Barat yang berbatasan dengan Toraja Utara menggelar satu sistem regulasi yang menghubungkan berbagai macam unsur. Seseorang dapat dihukum melalui upacara—Seda—yang mengharuskannya membayar perbuatan bejatnya dengan harga yang sangat mahal. Seseorang wajib menyembelih sejumlah kerbau yang ditentukan oleh tetua adat, demi mengembalikan keharmonisan yang ada diantara masyarakat, berikut properti yang dimilikinya terhadap kekuatan kosmos yang mereka yakini. Sebab, jika keharmonisan tidak segera dikembalikan, maka tanaman yang selama ini dirawat dengan seksama, secara mistik akan diserang oleh hama bahkan akan berdampak buruk pada kehidupan mereka kelak. Konsep tersebut tidaklah sesederhana yang tertera disini. Lebih jauh memasuki dunia mereka, akan membawa kita ke arah perubahan pola pikir. Sebab, lahirnya suatu tindak atau tutur dari masyarakat tribal seperti ini, melewati suatu proses pergulatan pemikiran yang panjang, bahkan begitu filosofis dan merangkum nilai historis perjalanan komunitas tersebut. Oleh karena itu, kemampuan untuk bersikap selektif diperlukan dalam memaknai nilai universal yang ada. Ketajaman rasa atau sensifitas juga akan sangat menopang proses pemaknaan tersebut. Berbicara persoalan kearifan lokal yang memiliki sudut pandang luas ini, cukup banyak yang dapat dipaparkan. Meskipun kita tidak dapat menggambarkannya secara visual, sebab pembicaraan kita hanyalah sekedar mengulas dan mengimajinasikan. Dalam salah satu bait sebuah tembang klasik berjudul “Question”, suatu pesan yang secara tersirat menyampaikan kondisi yang memiliki keterkaitan erat dengan konsep berfikir masyarakat lokal. Tembang ini dimainkan dengan genre lawas oleh Manfred Mann’s Earth Band dalam album The Roaring of silence tahun 1976 dan tenar pada era 80-an. Kehidupan digambarkan sebagai sebuah masalah yang memiliki cerminan wadah tertentu dari dimensi lain sebagai wujud intropeksi diri. _I sat and spoke to those inside of me, They answered my questions with questions and they pointed me into the night. Where the moon was a star-painted dancer, and the world just a spectrum of light…….. to figure out which way was right_ sumber(Musicmatch). Seseorang yang tidak hanya berbicara dengan dirinya sendiri, melainkan menemukan konsep yang berupa spektrum, refleksi dari kehidupannya ada dalam dirinya sendiri. Sehingga, dengan sebuah renungan yang dalam, seseorang dapat menemukan hal terbaik untuk dirinya. Bila diasosiasikan dengan keberadaan kearifan lokal, dapat ditarik suatu kesamaan tentang pola pikir yang terbangun. Bahwa, sesuatu yang dilakukan masyarakat adalah refleksi dari kearifan menjalani hidup itu sendiri. Bijaksana dalam mengambil keputusan dan menjadi panutan bagi dirinya sendiri. Seyogianya, pergulatan pemikiran yang panjang melahirkan pemahaman yang mendalam, sehingga lahirlah kearifan. Kearifan berupa pola perilaku yang diperankan oleh suatu komunitas mencerminkan kebijaksanaan yang dimiliki secara kolektif dan lokal, namun mengkonstruksikan nilai yang bersifat universal. Memahami suatu konsep kearifan lokal atau adat dari suatu komunitas masyarakat tidaklah mudah. Individu yang masuk dalam komunitas tertentu, belum tentu dapat memaknai kearifan lokal yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Terlebih, hadirnya seseorang yang baru dan sama sekali bukan bagian dari komunitas tersebut. Seorang antropolog yang mencoba mengungkap makna dari satu sisi kehidupan masyarakat menghabiskan waktu yang relatif lama dan berjenjang agar bisa memaknai dan mengerti hubungan-hubungan yang tercipta melalui kebiasaan-kebiasaan dan perilaku-perilaku kearifan lokal dari suatu komunitas. Blom dan Gumperz (1972), pakar linguistik antropologi, melakukan riset yang apik dan menghabiskan hampir satu dekade, meneliti penggunaan bahasa Bokmal dan Ranamal terkait fenomena transisi struktur sosial di pedalamanan Hemnesberget di Norwegia. Dari riset yang panjang ini, mereka menemukan suatu kebiasaan unik untuk saling menghargai antar golongan yang berbeda tingkatan sosial tanpa mengganggu independensi berbahasa masing-masing. Kemudian Gal(1979) seorang antropolog, menghabiskan waktu satu tahun tinggal bersama satu keluarga lokal di Oberwart, Austria Timur, Dorian (1981) selama lebih dari satu dekade meneliti kebiasaan perilaku masyarakat lokal di bagian Timur Sutherland, dataran tinggi Scotlandia. Nah, dari contoh-contoh ini, tentu dapat dipahami dengan mudah bahwa memaknai tidaklah sederhana, butuh waktu lama dengan pendalaman yang signifikan. Maka dari itu, paragraf deskriptif berisi opini singkat ini mencoba untuk mengajak sekaligus mengevaluasi perilaku kekinian melalui pendekatan kearifan lokal yang memiliki paket kebijaksanaan yang di luar ambang batas. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa, melihat kearifan lokal itu tidak hanya dengan satu sudut pandang saja. Ia terbangun oleh suatu konsep yang kompleks dan membutuhkan kecerdasan emosional untuk merasakan eksistensinya. Dalam hal ini, berbagai fenomena dalam masyarakat dapat terlihat secara kasat mata, dengan frontal melanggar nilai yang ada. Beberapa juga berhasil mengadopsi dan menikmati betapa bermanfaatnya memahami suatu kearifan lokal. Tepat satu dekade yang lalu, publik dikejutkan oleh sebuah penemuan, pemikir independen Jepang, Masaru Emoto pada Maret 2005 melakukan riset panjang terhadap keajaiban air. Melalui Tema “The True Power of Water” dan “The Hidden Message in Water”, Masaru benar-benar membuat masyarakat dunia mulai mengakui bahwa, setidaknya apa yang sering dilakukan masyarakat tribal bukan hanya sekedar perilaku primitif yang sering diasumsikan sebagai “the act of taboos”(perilaku tabu). Meskipun menuai begitu banyak kritikan dan kecaman, penulisan riset ini mendapatkan apresiasi besar oleh masyarakat dunia. Riset ini membuktikan kekuatan air dengan menggunakan kamera kecepatan tinggi. Akibat langsung dari pikiran dekstruktif, pikiran cinta, dan apresiasi terhadap pembentukan kristal air berdampak positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan planet kita. Air-air yang dibisikkan dengan kata-kata tertentu menimbulkan reaksi yang mampu menyembuhkan penyakit. Pernahkah kita melihat dukun-dukun yang menggunakan media air sebagai alat penyembuhannya? Seketika kita akan berfikir secara rasional bahwa perilaku seperti itu hanyalah simbolis belaka, dan sama sekali tidak dapat memberikan kontribusi dalam dunia medis. Kenyataannya, para ilmuan ini menemukan titik balik unsur keilmiahan pada perilaku tersebut. Meskipun, ketika diasosiasikan dengan kearifan lokal terkait, secara teknis memang sulit disandingkan dengan dunia sains. Kemudian, ingatkah kita dengan keramatnya pohon-pohon yang tumbuh di atas sumur tua milik masyarakat di kampung? Sehingga muncul ketakutan warga untuk menebangnya meski pohon-pohon yang ada sangat potensial untuk dijadikan properti rumah. Tidak akan ada yang ingin berfikir bahwa keberadaan makhluk astral yang menghuni pohon-pohon keramat itu adalah sebatas mitos saja. Masyarakat desa sepenuhnya percaya dengan mitos yang berkembang, ditambah dengan cerita mistik yang marak diceritakan. Nah, dari peristiwa keramat ini, nilai-nilai melestarikan sumber kehidupan tercipta dengan sendirinya. Bahwa, adanya flora yang mengelilingi sumber mata air, sehingga daya serap tanah semakin tinggi dan dapat menghasilkan sumber air secara berkelanjutan guna mensuplai sumber air pada sumur tadi. Bukankah menarik jika kita menarik kesimpulan sederhana dari fenomena di atas, bahwa melestarikan alam sangat penting dalam menunjang kehidupan. Masih terlalu banyak fenomena dalam masyarakat yang mesti dipahami dengan tepat dan diekstrak nilainya seperti kasus di atas. Terlepas dari manfaat yang ada, kesalahan persepsi juga muncul ditengah-tengah kita dan mengancam keberlangsungan nilai secara kolektif. Sebagian masyarakat muda Makassar contohnya, dengan gamblang mereduksi nilai-nilai “siri na pacce” dalam performa kehidupan sosial. Kasus yang sangat disayangkan ini merambah kalangan muda dengan cepat, mengisi kepala mereka dengan paham yang “out of context” dan merusak tatanan yang ada. Slogan yang sarat akan nilai kebijaksanaan dalam berfikir dan bertindak ini, kemudian beramai-ramai disalahartikan dan akhirnya melahirkan budaya baru. Kebiasaan yang lebih mengedepankan luapan emosi daripada fikiran matang. Bergesernya pemahaman terhadap nilai ini kemudian berhasil menciptakan berbagai macam polemik negatif. Tak pelak, berbagai makian tumpah-ruah secara sporadis mengisi media terhadap perilaku masyarakat Makassar. Tentu saja, ujung dari kasus ini akan menimbulkan permasalahan yang runyam. Sayangnya, fenomena seperti ini tidak bisa dihindari. Namun,yakinlah bahwa suatu waktu nanti bahkan suatu komunitas tertentu akan menghancurkan dirinya sendiri akibat kesalahan persepsi yang berkembang. Nah, apa yang coba diutarakan oleh tulisan ini adalah sebuah upaya untuk mengembalikan kekayaan kearifan lokal yang ada. Oleh sebab itu, mengenali adat dan budaya yang ada dalam masyarakat kita seharusnya menjadi hal yang substansial untuk difikirkan oleh jajaran elit penentu kebijakan arah bangsa, bahwa arah kita akan menjadi tidak terkendali bila kearifan lokal dibuang percuma. Dari penjelasan singkat ini, ekpektasi primer yang diinginkan adalah untuk membangun suatu pemahaman dan interpretasi terhadap keberadaan kearifan lokal yang ada. Bertujuan untuk menghindari kesalahan interprestasi, tetapi mempertahankan dan memperagakannya dalam konsep dasar aturan bermasyarakat. Meskipun jelas diuraikan bahwa perkara ini tidak mudah diimplementasikan, maka perlu menjadi acuan bagi kita semua agar kembali merujuk pada kemampuan berfikir alami para pendahulu yang kini coba diilmiahkan oleh para ilmuwan. Nah, untuk menghindari rasa ketidakpercayaan terhadap muatan yang ada pada kearifan lokal, akan lebih baik bila kita mencoba untuk memahaminya dari sudut pandang kita masing-masing. _Faisal Bin Asse / NRA: E.103.09.L.A.89.FIB-UH
0 komentar:
Posting Komentar