sebuah cerita singkat tentang perjalanan yang panjang
“BUNGA ABADI”
DALAM PELUKAN BELANTARA KAMBUNO
19 FEBRUARI-04 APRIL 2010
Awal yang tidak terlalu baik bagiku untuk melanjutkan rencana pendakian perdana ini. Dalam keraguan yang masih selalu melekat dalam benak, kucoba sembunyikan semua dengan tetap menatap jauh ke arah semaraknya dunia puncak yang sering kudengar lewat cerita-cerita “mereka”. Katanya, kalau sudah di atas sana,semua terasa indah dan seakan segala yang diimpikan sudah ada dalam genggaman. Hanya itu yang selalu meredam keraguan yang masih tersisa.
Kapan lagi aku bisa merasakan semua itu. Gejolak rasa penasaran semakin tak mau saja di ajak bercanda. Sudahlah…………. Dengan sisa uang yang kulipat rapi dibalik dompet hitamku, kupersiapkan segala yang kurasa bakal menjadi dewa- dewi penyelamatku di atas sana.
19 feb 2010………..
Pukul 08.00 malam, ketika itu sebuah ruangan sempit yang tertata rapi bertuliskan “UKM PA EDELWEIS FIB-UH” diatas daun pintu, terlihat agak sesak dipenuhi barang-barang dan segala persiapan perjalanan. Terlihat pula beberapa orang dengan rambut diikat rapi mondar-mandir seakan kehilangan sesuatu yang berharga. Rupanya , mereka tengah sibuk menata carrier masing-masing. Rasanya, tak pernah puas untuk memandangi betapa perkasanya carrier itu ketika berada di balik pundak. Sepertinya,lengkap sudah semuanya,dan tak ada lagi yang perlu di ragukan untuk memulai sebuah perjalanan panjang yang tak pernah terduga sebelumnya. Masih terlihat senyuman bangga dari kami waktu itu. Entahlah bangga karena apa, hanya aku dan mereka yang tahu itu………kuangkat carrier berat itu naik ke bus yang sudah menanti. Deru mesin bus antar kota berlabel “ alam indah” di pojok atas kaca depannya, mengiringi lelapnya para petualang muda menuju lokasi. Tempat dimana kami akan memulai sebuah rangkaian cerita panjang yang sulit dihapus dari galeri PPAB XV.
Siang hari tanggal 20 februari 2010, dengan tenaga yang masih terlalu prima, kami mulai melangkah cepat dan pasti menuju belantara yang ternyata tidak seperti yang biasa dalam imajinasiku. Kini, kami benar-benar ada dan berjalan di balik liarnya rimba. Semakin lama, rasanya semakin berat saja tubuh,carrier dan kaki ini. Melewati jalan setapak sempit, langkah kami selalu diatur oleh iringan canda tawa yang agak sedikit kaku, mungkin ulah dari nafas yang masih memburu. Waktu berlalu begitu saja, belasan kilo bahkan terbilang puluhan kilometer sudah kami berjalan menelusuri berbagai macam tumpukan batu aneh dan tanah kering. Terkadang, batinku ingin tertawa ketika melihat jiwa perkasa yang tersemat dalam raga senior maupun saudara-saudaraku terusik oleh rapuhnya jembatan gantung tua yang harusnya tidak dipakai lagi. Dipakai untuk menyeberang sungai yang tidak terlalu luas itu…… barangkali lebih baik untuk turun dan melintasinya tanpa jembatan. Kadang aku harus jujur bahwa rasa takut dan ragu yang begitu besar dalam sanubari, coba kulempar jauh-jauh agar tak terlihat oleh mereka. Sebegitu ironiskah untuk menjadi seorang “pejantan tangguh”? kata “Sheila on 7” dalam lagunya. semua itu kami anggap sebagai bagian dari sengitnya pertarungan melawan arus liar belantara. Sepanjang jalan, sudah banyak upaya yang terlihat untuk membuang rasa haus dan penat lelah. Lelah yang kian menjadi sebab utama mengapa langkah ini semakin perlahan saja. Kadang, di sudut jalan tertentu terlihat tumpukan kulit durian yang dihinggapi lalat rimba. Tidak jauh pula dari tumpukan itu,terlihat pohonnya yang menjulang, menggenggam puluhan buah yang aromanya kian menusuk rongga hidung. Makin semangat saja aku waktu itu, walau tak begitu suka dengan buah itu, kupaksakan untuk merasakan hangatnya kebersamaan bersama saudara-saudaraku, para petulang muda berbakat. Senyuman dan canda kembali menghiasi cerita panjang ini ketika aku dan mereka duduk melingkar menikmati satu persatu manisnya buah durian. Jemari perkasa mereka dipenuhi sisa durian yang kian habis dilahap sampai habis di ujung nikmatnya.
Menapaki bebatuan yang berhambuaran di atas jalan pengerasan milik para penebang kayu dahulu, kulit kakiku terasa panas bahkan mengelupas tergesek kerasnya besi yang menempel di ujung sepatu. Besi yang konon fungsinya sebagai pengaman, tapi ternyata menjelma menjadi predator ganas menghambat langkah kakiku. Sudah 5 hari menuju kaki gunung, sudah 3 malam kedinginan, tidur dalam rasa was-was akibat cerita-cerita mistis dan tingkah kesurupan si gadis yang sempat ikut dalam perjalanan ini. Apakah kali ini, kami akan dihadapkan pada sebuah pencapaian yang belum pernah kami dapatkan. Rasanya, terlalu banyak hal yang selalu jadi sumber masalah. Mulai dari surat menyurat, entah apa tujuannya sampai kami harus menginap di gubuk penuh coretan ala petualang masa lalu. Ditambah pula dialog mistis dengan penghuni gunung yang konon mencoba menghalangi perjalanan kami. Sungguh diluar batas pemikiran logika seorang pemuda seperti kami . Namun, tidak bisa dipungkiri jika semua itu sempat merasuk akal sehatku, keyakiananku kini akan mistiknya dunia semakin menjadi-jadi saja.
Dihadapkan pada berbagai problema,kami tetap terus melangkah menuju mencari destinasi yang menjadi tujuan awal kami. Dua hari di gubuk persinggahan para tukang ojek rimba,membuat tenaga kami kembali pulih. Hanya tulisan dari arang dapur yang setia menghiasi dindingnya menjadi penawar rasa jenuh menanti hari berganti. Tulisan singkat nan kaku yang kadang membuat gelak tawa silih berganti menjadi bahan celotehan sang petualang-petualang muda. Kalimatnya terkesan agak serius dan mungkin sangat berarti jika ada niat untuk merenungi. “ hidup tanpa penderitaan, tidak akan sukses di segala bidang” kata mereka. Bunyinya kuno, tetapi barangkali itulah realitas kehidupan yang sesungguhnya. Sangat sulit untuk menemukan kalimat seperti ini bagi kami civitas akademika yang terbiasa dengan tulisan indah milik penulis yang tersohor namanya…
Ayunan langkah dan derap sepatu kulit kembali terdengar saat kami melanjutkan perjalanan ke titik akhir yang sudah ada dalam kerinduan teramat sangat. Aku selalu berdoa agar waktu cepat berlalu dan membawaku ke singgahsana indah milik trianggulasi, sang penghuni tunggal puncak Kambuno. Selalu saja terbayang sekilas dalam kepala ku, betapa damai suasana saat aku berdiri di balik kabut tebal dengan hembusan nafas panjang rasa puas. Tidak terlalu lama untuk sampai ke kaki gunung. Kami terus beranjak dari satu titik ke tanah yang lebih tinggi, kata gps yang dibalut perpaduan warna kunig dan hitam. Sebuah alat yang merepresentasikan bahwa manusia semakin pintar saja menguasai dunia.
Mulai menarik meteran di kaki gunung menyambut lelah kami menuju ke pos berikutnya. Rasanya semakin berat saja beban di pundakku, padahal baru saja cairan spritus yang masuk dalam daftar perlengkapanku membakar padat beras untuk makan siang. Saudara-saudaraku kelihatan sibuk dengan dengan alat ditangan, dan suara keras lantang terdengar tiap kali meneriakkan angka dengan satuan alat yang di gunakan kepadaku. Kutulis rapi semua yang kudengar agar tidak sia-sia semua yang mereka dan aku lakukan. Itulah awal dari jejak langkah generasi baru bunga abadi “edelweiss” dalam sebuah pendakian melelahkan.
Sambil meneguk air dari veldples sederhana dari botol AQUA, kami duduk sejenak melepas penat disamping kerumunan rumput liar pos 2. Nikmatnya asap rokok menghiasi nafas yang masih terengah-engah. Walau hanya sebatas rokok murah dan tak pernah kunikmati bahkan kulihat, entah mengapa rasanya seakan menundukkan cerutu mahal milik kaum elit di ibu kota. Barangkali, dari rokok hasil plagiarisme ini, aku dan saudara-saudara ku bisa belajar dan mengerti arti penting nilai dari sebuah benda yang terkadang terasa gengsi untuk dinikmati. Sebuah pelajaran sederhana dan berarti yang mungkin belum tentu bisa di peroleh dengan duduk diam diruang kuliah mendengar celoteh dosen yang panjang lebar. Ingin kurebahkan tubuh ini dimana saja walau hanya beberapa menit saja. Kulihat tetesan keringat dari wajah saudara-saudaraku. Walau tampak lelah, selalu saja terukir senyum yang tak semanis biasanya. Aku bersyukur, betapa beruntungnya bersama mereka dan turut memiliki canda tawa itu dalam wujud kebersamaan, seperti kata senior-senior ketika aku baru sebulan menapaki dunia kampus yang penuh tanda tanya. sebuah momen indah tak terlupakan ketika ingin diputar kembali dalam memori kumpulan kenangan masa laluku..
Kabut petang kian menyelimuti punggungan kecil di depan mata, ketika langkah kami sudah hampir tiba di pos 3. Enak rasanya merebahkan tubuh dalam tenda mungil yang ku pasang rapi di sudut camp. Aku memulai lagi imajinasiku jauh menerawang ke hingar- bingar bunyi klakson mobil di gerbang kampus. Bisa kurasakan hangatnya kota pada malam itu walau berada di tengah dingin kabut malam gunung Kambuno. Terbayang pula semaraknya kampusku esok hari, ketika para gadis-gadis remaja nan molek berdandan cantik melenggang di depan kantin, milik para ibu tua yang setia dengan dagangannya. Aku semakin jauh melayang,kini kulihat ruang kuliahku diisi teman-temanku yang kelihatan serius mendengarkan dosen mitologi yunani mendongeng ria. Sekali-kali, ada yang mengangguk sok tahu mencari simpatik dari dosen baik hati itu. Di pojok belakang ruangan, beberapa senior 3 tahun di atasku cuek dengan fikirannya masing-masing. Mungkin sedang memikirkan apa yang akan ditulis dalam BAB 1 skripsi yang tertunda. Sementara itu, sebuah kursi tepat di bawah air condisioner , tempat nyaman yang sering kutempati terlihat terisi seorang gadis berjilbab besar ala timur tengah menggantikan aku. Kadang aku sedikit menyesali, mengapa aku harus ada di tempat ini, sedangkan ada ilmu yang jelas akan kudapatkan lewat ruangan kuliah itu. kemudian kupikir pula betapa hebatnya nya ceritaku ketika aku pulang, tentu dengan antusias teman-teman dekatku bertanya semua yang aku alami dalam kepergianku. Semakin berwarna saja imajinasiku malam itu, sampai kudengar suara memanggil untuk beberapa suap nasi dicampur lauk ala outdoor, dan lamunanku pun berakhir.
Tidak terlalu banyak yang bisa digoreskan dalam cerita singkat sepanjang lereng-lereng curam milik punggungan indah di gunung kambuno. Hanya momen keracunan jamur kuping, tercampur jamur beracun menghiasi malam sebelum menuju pelataran tertinggi milik Gunung Kambuno. Pelataran dimana kami mengabadikan momen bersama trianggulasi tua yang tampak mulai dipenuhi lumut. Baru kusadari sudah sepuluh hari perjalanan di belantara, tanpa pernah kuingat apakah ada seseorang yang merindukan ku.. cepat-cepat kuhapus pikiran itu, mungkin bukan saatnya mengingat cinta kasih di sebuah puncak mistis seperti Gunung Kambuno. Rindu dan merindukan bagiku adalah hal biasa dan tidak perlu dipermasalahkan. Yang kubutuhkan sekarang adalah sebuah jawaban tentang apa sebenarnya tujuan kami berada di samping trianggulasi ini. Belum sempat kutarik sebuah kesimpulan, instruksi dari pendamping menggerakkanku bersama saudara-saudaraku memulai lagi kegiatan pengukuran yang sempat tertunda. Plat koordinat pos lengkap dengan elevasi, ditempel di sebatang pohon yang bagus letaknya. Sengaja di pasang di Pohon yang Keras dan kuat, agar bisa menggambarkan jiwa perkasa yang dimiliki para “ edelweiser”. Di sisi bawah plat berlatar kuning, tertulis kalimat yang merepresentasikan aku dan saudara-saudaraku untuk sebuah hasil yang bisa di bawa pulang. Melihat plat itu suatu saat nanti, tentu ada yang bisa kami banggakan ketika ada yang memanfaatkannya.
Kembali kami menarik meteran panjang untuk mencari data jarak dan kemiringan dari jalur gunung Kambuno. Kali ini agak sedikit mudah karena kami sudah berjalan turun dari puncak. Dalam hati berharap besar kami dapat menemukan saudara –saudara kami yang hilang beberapa waktu lalu di celah padat pohan liar lembah dalam sebelah utara . menyusur sungai sempit di bawah pohon besar menjadi sebuah langkah jitu dalam menemukan mereka. Sudah sebulan mereka hilang disini, entah kemana rimbanya hanya tuhan yang tahu pasti keberadaan dan nasib mereka. Pohan-pohaon besar yang diameternya tidak bisa mempertemukan kedua jari tangan orang dewasa menjadi payung lebar yang menutup cahaya di balik lembah itu. Hanya beberapa titik cahaya saja yang terlihat beruntung dapat menembus lebat dedaunannya. Menimbulkan suasana agak gelap dan semakin tampaklah mistik yang membuat bulu tengkukku sedikit terbangun dari posisinya. Memang terlalu banyak rahasia alam tersemat dalam belantara ini. Kami terus saja menyisir kiri dan kanan anak sungai itu, sampai ketika kami tiba-tiba saja kembali ke pos 3 yang menjadi camp 2 hari yang lalu. Sudah kuduga memang untuk sebuah pencarian sperti ini, tidak mudah untuk mendapatkan hasil yang dicari. Dengan berat langkah ini, kami kembali mengayuh roda kaki yang memang sudah berat untuk kembali melangkahi jalan setapak menuju ke pos 5.
Sudah hampir dua minggu dalam hening rimba, kami memutuskan untuk turun dan kembali menyusuri pengerasan panjang sejauh 45 km. Memang sangat berat jika ingin dibayangkan betapa banyak langkah yang akan kami hasilkan untuk sampai ke Desa Malimbu, tempat kami mulai menapaki rimba ini. Manakala semua rincian barang makanan yang masuk dalam daftar logistik kami hanya menyisakan beberapa liter beras dan garam. Kegelisahanku semakin menjadi- jadi, apakah mampu bagi kami untuk tetap bertahan melalui ratusan tanjakan di jalan pengerasan itu. Kelak, pasti tidak akan kulupa jika sampai aku tidak memakan apapun selama tiga atau 4 hari nanti. Semunya semakin kelihatan tidak baik-baik saja. Beberapa saudaraku sudah berulag kali mengungkapkan wujud penyesalan nya. Coba ku ingatkan bahwa semua akan berakhir dengan cepat dan kita akan sampai di kasur empuk beberapa waktu lagi. Mereka hanya diam, sinis menatapku seakan tidak ada kata yang benar keluar dari bibirku. Disinilah, sebuah panji kebersamaan untuk jalan bersama mengawali langkah anak muda “EDEELWEIS”. Sebuah cerita yang nantinya akan menghiasi galeri PPAB XV dalam berbagi warna kisah petualangan di kancah para sivitas akademika.
Sungguh nikmat rasa nasi dicampur sedikit garam menjadi santapan siang dan malam sepanjang jalan. Karena rasa persaudaraan yang kian menebal di hati, semua semakin tak terasa bahwa kami sedang ada dalam sebuah keadaan gawat darurat. Ada ada saja yang menjadi bahan racikan dan menu baru yang tercipta. Semua lahir begitu saja dan menghasilkan citarasa khas rimba yang tidak punya sebuah nama. Nikmat dan mantap. Itu barangkali kata yang cocok untuk semua menu baru para EDELWEISER. Langkah demi langkah semakin membuat lemah raga ini. Sudah sekian hari menatap warna hijau kadang membuatku ingin terus menutup mata berjalan menyusuri jalan setapak. Aku dan saudaraku pasti rindu akan gemerlap lampu neon di tepi jalan. Sisa tenaga dan segenggam semangat membawa kami pada jembata n gantung pinggira Desa Malimbu yang sudah tampak dipenaruhi modernisasi. Hidup memang susah jika dilalui sendiri tanpa ada teman yang menemani. Terbesit sebuah kata bijak dari fikiranku yang lelah karena capek yang luar biasa. Kulirik saudara-saudaraku, terukir kembali senyuman tanda ikatan persaudaraan yang kental tercipta. Suara-suara parau mereka kadang terdengar sayup mendendangkan lagu-lagu bahagia tanda rasa senang yang tidak terhingga. Menanti truk mungil yang dulu kami tumpangi, asap rokok selalu saja mengepul dari rongga mulut para EDELWEISER. “Kini kami sudah kembali ke peradaban yang sebenarnya setelah sekian lama berkelana dalam pelukan belantara milik gunung kambuno”. Kuangkat kedua tangan dan kulambaikan kearah selatan, tempat berdirinya Gunung Kambuno ketika truk mungil membawa kami pergi dari jembatan gantung Desa Malimbu. Tanpa sadar, bukan hanya diriku yang melakukannya, saudara-saudaraku yang gagah berani juga sempat melambaikan tangan bahkan diiringi dengan sorakan puas sebuah petualangan. Tentu saja udara segar nun jauh di balik kabut itu masih bisa kurasakan walau semakin jauh dari pandangan mata.
4 maret 2010……………………………………………….
Malam di bus menuju Kota Makassar , terdengar lantunan lagu melankolis melayu yang mengantar lamunan kami ke tiap detik hembusan nafas lelah beberapa waktu lalu. Baru saja berakhir sebuah kisah indah yang penuh cerita dari dingin kabut rimba di atas gunung. Aku berharap agar harum bunga edelweiss akan tetap abadi dalam setiap bongkahan batu dan tumpukan tanah tinggi belantara Kambuno.
0 komentar:
Posting Komentar