Ocean Blue Flame

Senin, 25 Juli 2011

Penghujung Juni di Balik Raut Rinjani

Adalah puncak Gunung Rinjani dengan ketinggian 3726 mdpl yang menjadi target dari pendakian kali ini. Dengan inisiatif yang muncul secara personal dari personilnya, itulah yang menjadi dasar bergeraknya langkah kaki untuk segera mencapai puncak dari Gunung Rinjani. Berangkat dengan iringan semangat dan doa dari keluarga besar UKM PA EDELWEIS FIB-UH serta teman-teman yang lain, tim dengan dua personil menyeberang ke Pulau Lombok, tepatnya di Nusa Tenggara Barat. Meski hanya berdua, tapi semangat yang ada dalam sanubari dua anak muda ini tetap berkibar megah.
Berbekal ppat dan segala perlengkapan lain yang menunjang perjalanan ini, aku merasa sangat siap dan tidak ada lagi yang perlu diragukan dengan keberangkatan ini. Semua telah diatur sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah manajemen yang sangat tertata rapih. Meskipun bukan sebuah tim ekspedisi yang lengkap dengan segala personil dan peralatannya, namun kuanggap bahwa perjalanan kali ini tidak kalah dengan sebuah ekspedisi yang butuh persiapan matang mulai dari hal paling kecil sampai pada yang utama. Melihat Gunung yang akan kami susuri lerengnya itu cukup menarik, maka berbagai hal yang mendukung untuk itu kupersiapkan dengan baik. Bukan itu saja, persiapan secara fisik dan mental juga jauh hari sebelumnya telah kubangun. Semua agar kekuatan fisik yang prima bersama jiwa yang jernih dapat dipadu membentuk lembaran baru untuk mengukir pelajaran dan pengalaman baru pula.
Ucy, teman seperjalananku yang selalu menjadi penglipur lara saat suasana sedang dalam keadaan apa saja. Selalu saja ada yang harus membuat ketawa pecah dalam hening suasana saat dia sudah bermain dengan otak humornya. Tentang persiapan, sama sepertiku lelaki bertubuh ceking dan berperawakan agak semrawut ini, juga hampir tal pernah berkata ada yang kurang. Semua sudah dipersiapkannya mulai dari “ Marlboro”nya dan segala pernak-pernik andalannya. Kalau ada yang kurang, dia mengadu padaku dan begitu pula sebaliknya. Terkadang aku juga merasa heran dengan si ceking ini. Mendengar selera music Undergroundnya itu, sangat tidak tepat bila dipadu dengan hobinya berkeliaran di alam terbuka. Begitulah anehnya jiwa petualang yang dimiliki teman perjalananku ini. Akan tetapi, yang kurasakan adalah sangat beruntung bagiku untuk bisa menikmati ciptaan Tuhan bersama makhluknya yang tak pernah kelihatan bersedih ini. Seperti itulah riwayat singkat persiapan kami.

Tiba di Lembar, kami yang kebetulan dipertemukan secara tidak sengaja dengan dua orang mahasiswa dengan tujuan dan destinasi yang sama diajak beristirahat di sebuah rumah sekitar wilayah pelabuhan. Echa’ dan temannya Dedet. Begitu sapaan mereka. Rumah yang menjadi tempat persinggahan kami tak lain adalah rumah keluarga dari salah satu dari mereka. Patut disyukuri meskipun rencana awal tidaklah seperti itu. Berangkatnya kami ke tempat ini bukan hanya berjalan dengan mata buta, tapi telah lengkap dengan data serta jaringan yang akan kami datangi. Namun, karena situasi yang memaksa untuk bergerak lebih mudah, maka kami memilih untuk ikut bersama dua teman baru yang nantinya menjadi bagian dari tim kami selama pendakian. Sehari beristirahat di situ, kami baru tahu kalau teman baru kami itu sebenarnya berjumlah tiga orang. Satunya baru saja tiba, dan kebetulan ingin ikut bersama menjejaki punggungan Gunung Rinjani. Dia seorang gadis, namanya Sary dan hanya itu yang kami tahu tentangnya. Sekarang kami berjumlah lima orang, empat lelaki dan satu wanita. Sebuah tim yang lumayan ideal, tapi cukup menyulitkan karena kami tak pernah membentuk sebuah tim yang terdiri dari leader dan anggotanya. Semua sama seperti berjalan santai.

Setelah menyepakati hari pendakian kami, tim berangkat ke Mataram menuju kampus Universitas Mataram. Tidak lain yang dituju adalah sekertariat Grahapala Rinjani Unram. Hal ini sudah menjadi kebiasaan antara sesama Mahasiswa Pecinta Alam yang melakukan perjalanannya. Selain memudahkan perjalanan, sumber informasi, jalinan kekeluargaan juga dapat dibina sesuai kode etik yang menjadi pedoman bersama. Di tempat ini, kami berbagi informasi dan kembali menetapkan hari untuk mulai perjalanan. Dengan ditemani beberapa organisasi termasuk tuan rumah itu sendiri, kami sepakat untuk berjalan beriringan dengan beberapa organ tersebut. Yang kumaksud adalah teman baru kami yang berasal dari MAHESA FE-UH, kemudian gadis yang ikut bergabung dari KALPATARU SMANSA, dua orang lagi dari INSTALASETA FKIP UNHALU, serta tiga orang dari GRAHAPALA RINJANI UNRAM itu sendiri. Satu hari sebelum berangkat kami memanfaatkan waktu untuk melengkapi logistik serta kebutuhan lainnya, dan melakukan last checking equipment pada malam harinya untuk memastikan semua alat dan perlengkapan telah beres.

Senin,27 juni 2011
Diawali dengan pelepasan dan doa bersama dihadapan sekretariat GRAHAPLA RINJANI UNRAM, kami berangkat dengan sebuah bus mini yang dikenal dengan nama engkel oleh masyarakat, bahkan khalayak suku sasak sebagai penduduk asli pulau indah ini. Dengan rute Mataram-Eikmel-sembalun, kami berangkat pada pukul 10.15 WITA. Belum sampai di Desa Sembalun, kami sempat kewalahan mendorong engkel yang tidak mampu melewati jalur becek di tanjakan menuju Desa Sembalun. Bukan bersungut, tapi malah menikmati momen itu, karena beberapa ekor monyet liar datang menghampiri kami sekaligus manjadi awal perkenalan dengan rimba Rinjani yang indah ini. Pukul 15.30, kami tiba di lembah yang cantik dikelilingi punggungan-punggungan indah, Desa Sembalun. Beberapa waktu sembari menunggu pesanan nasi bungkus di warung kecil, kami berpose. Kesannya lucu karena tempat yang dijadikan latarbelakang bukanlah panorama tetapi sebuah bangunan Puskesmas. Sejenak kami mampir di Rinjani Tracking Center guna melapor sekaligus melengkapi administrasi bersangkutan. Hujan mengguyur lembah ini sampai pada saat kami tiba di pintu rimba. Sementara menunggu hujan reda, kami beristirahat sejenak. Pukul 16.00 WITA, kami mulai berjalan menyusuri Savanna menuju pos 1 sampai pos 2, yang memang menjadi target camp untuk hari ini. Beruntung pada waktu itu langit nampak cerah, dan sang agung singgahsana Puteri Anjani tampak dari balik awan tebal. Sangat dekat, sungguh indah rupanya. Namun ia ada nun jauh disana dan terlalu melelahkan untuk menggapainya. Langkah yang masih prima sangat memacu kecepatan kami dan dalam waktu singkat kami tiba di pos satu dan menyusul pos 2 pada pukul 20.10 wita. Sebuah jembatan menjadi pondasi tenda-tenda kami. Menarik sekali momen yang baru kali ini kami rasakan. Menemukan jembatan beton di atas gunung bukan hal biasa bagi kami
.
Selasa,28 juni 2011
Dengan cekatan, pagi-pagi sekali kami bangun berpose dan mencari engel terbaik di selah-selah mentari terbit. Dikelilingi savanna luas, kami bergantian menjadi fotografer demi mencari kepuasan batin yang dahaga akan panorama indah seperti itu. Sulit ditemukan siluet dengan latar matahari terbit di padang savanna. Setelah packing, kami mulai beranjak. Agak terlambat gerakan kami pada waktu itu. Target hari ini adalah Plawangan Sembalun yang menjadi basecamp untuk semua pendaki sebelum menuju puncak. Sepanjang perjalanan, kami bertemu pendaki-pendaki dari berbagai Negara yang turut ingin menikmati indahnya Rinjani. Entah apa yang menimpa kami, langit mendung kala kami mendekati Pos 3. Akhirnya jatuh juga tetesan-tetesan air dan basahi savanna luas pelataran Rinjani. Kami berteduh di bawah bongkahan batu besar di Pos 3 sementara menunggu hujan reda untuk kembali fight menuju Plawangan Sembalun. Mendekati beberapa punggungan terakhir, hujan tidak lagi punya perasaan dan belas kasihan. Kami diguyur habis-habisan saat udara sudah mulai membuat tubuh menggigil. Langkah kami mulai terpisah-pisah. Aku berjalan di belakang Ucy. Sementara Dedet berada di depan tapi masih bersama kami. Sementara, Echa jauh di belakang. Begitu pula Sary yang sudah barang tentu tersengal-sengal melawan letih yang luar biasa. Basah kuyup di ketinggian dua ribuan bukan perkara mudah untuk dijalani, kawan! Gemetaran tubuh kami sambil tetap melangkahkan kaki mencapai Plawangan. Butiran pasir di jalur memaksa otot kaki mengeluarkan tenaga ekstra untuk beranjak dari satu titik ke titik yang lebih tinggi. Meski mencapai tingkat maksimal tenaga tetap kami pertahankan agar tiba dan segera memanjakan diri dalam hangatnya tenda. Dengan susah payah, kami mulai mendapat tanda bahwa kami sudah tiba di destinasi. Menyusuri Plawangan mencari tempat dimana tenda tangguh kami akan berdiri. Sungguh bukan momen biasa yang terjadi saat bersusah payah menembus puluhan punggungan dalam kondisi basah kuyup dan beban yang cukup meletihkan diakhiri dengan secangkir kopi dan jaket tebal berlapis-lapis. Kami tak henti-henti tersenyum meskipun letih tubuh ini tak bisa dipisahkan dari rona wajah. Aku tak ingin cepat-cepat terlelap karena momen seperti itu sangat aku rindukan sedari tadi. Meski letih tak mau bersahabat, aku tetap duduk bersimpuh dengan pena dan notebook. Bersama segelas kopi yang masih berkepul asapnya, aku memparafrasekan perasaan ke dalam lika-liku bahasa hanya aku yang memahami dengan pasti. Kebiasaan buruk!!!!! Melelahkan kawan-kawan!!!
Rabu, 29 juni 2011
Hari ini, kami tak beranjak dari Plawangan Sembalun. Beberapa teman yang tergabung dalam tim meminta menunda perjalanan menuju puncak, terlebih satu diantara kami adalah wanita. Pada waktu itu, kami hanya memindahkan lokasi camp ke sudut yang lebih dekat dengan sumber air karena tidak ada aktivitas yang kami lakukan. Sedikit melampaui target, namun ada baiknya karena kami dapat menikmati sehari di Plawangan Sembalun sebelum summit attack. Nuansa pagi hari di tempat ini bukan lagi sulit didapatkan. Tapi tak akan ada di tempat lain, kawan. Dataran memanjang dengan ketinggian tiga ribu meter di atas permukaan laut dan berlatar danau berbentuk huruf konsonan U dengan sebuah bukit kecil merapi di sudutnya. Beberapa tumpukan awan berarak-arak di atas bukit yang disebut Gunung baru melingkar dan terpancar bias matahari yang baru saja terbit dari timur. Warnanya biru, airnya tenang sekali memanggil-manggil untuk segera merasakan hawa dingin di lembah itu. Kami hanya bisa tersenyum dapat berdiri di tempat ini meski hanya untuk beberapa waktu saja. Bercanda dengan monyet-monyet nakalnya menjadi hiburan kami di sore hari saat kabut mulai menutupi jarak pandang sampai lima meter. Dingin menghambat rongga nafas normal. Pedis, perih dan beberapa kali tanpa sadar air tetesan embun mengalir dari rongga hidung. Mendadak influenza dan mulai malas bergerak.
Malam hari, kami lebih awal memasak makan malam. Esok dini hari, kami akan kembali berjuang melawan pasir-pasir menembus tanah paling tinggi Gunung Rinjani. Sesuai instruksi dari leader kami, segalanya kami persiapkan sejam sebelum berangkat. Dingin pagi itu merambah sekujur tubuh. Menggigil dan tidak sanggup menyentuh benda-benda. Berlapis-lapis jaket melekat pada tubuh kami. Tetap saja terasa dinginnya. Itulah angin Rinjani.!!
Kamis, 30 juni 2011
Pukul 02.18 wita ,kami mulai melangkah diterangi sinar headlamp masing-masing. Pagi itu, seperti lampu neon jalanan, terlihat dari kejauhan orang-orang sudah mulai beranjak menuju puncak, sama seperti kami. Bedanya kami sedikit lebih cepat karena memang camp kami deka dengan jalur. Menempuh jalur yang berpasir, tidak terlalu sulit rasanya bila berjalan dalam suasana gelap. Langkah kami lumayan cepat dan melewati beberapa rombongan yang ada di depan kami. Cukup jauh jaraknya dari plawangan. Meskipun tak dapat dilihat ujungnya, dapat diperkirakan jauhnya karena perjalanan normal empat jam adalah informasi terakhir bagi kami sebelum berangkat. Angin tidak berbelas kasihan. Kencang dan menusuk-nusuk masuk ke rongga-rongga windbreaker. Menyiksa kulit tipis yang sedari kemarin terus-terusan menderita kedinginan. Dibantu keringat kecil yang hasilkan sedikit suhu panas, kami melangkah perlahan menyusuri jalur pasir nan sempit diapit jurang di kiri dan kanan. Beberapa kali kami harus duduk istirahat meluruskan urat-urat kaki yang mulai kejang. Otot-otot betis berusaha melawan serangan balik dari pasir dan bebatuan lepas yang menurunkan tubuh ke posisi sebelumnya. Sangat menjengkelkan jalur ini, kawan. Akan muncul kedongkolan yang tidak sengaja dari setiap orang yang melewatinya.
Pukul 05.08 wita, Ichal tiba di puncak. Disusul Uchi pada pukul 05.30 wita dan teman-teman yang lain. Perkiraan kami sedikit melenceng. Langkah kami lebih cepat dari perkiraan, sehingga kami harus menunggu sekitar setengah jam matahari terbit. Cukup dingin menunggu matahari terbit, namun karena sudah berada di puncak Ketinggian 3726 mdpl, semua sirna begitu saja. Tubuh yang menggigil berbanding terbalik dengan perasaan yang meluap-luap bak air mendidih di atas tungku.
Bukan hanya kami yang ada di tempat itu. Ada beberapa manusia yang berdiri bersama dari berbagai belahan dunia merasakan dinginnya angin lembah Gunung Rinjani. Bahkan ada pula yang hanya sampai setengah perjalanan dan akhirnya tidak mampu malanjutkan lagi. Matahari terbit diawali bias sinar jingga kemerah-merahan. Tak banyak yang bicara pada waktu itu. Hanya diam menatapnya dan lupa jika tubuhnya sedang menggigil menahan dingin yang teramat sangat. Seperti itulah gambaran singkat momen indah di atas puncak. Saat mentari benar-benar bersinar dan terangi semesta, kami mulai mengibarkan bendera dan mengabadikannya dalam seberkas file mungil berformat “jpg”. Bukan hanya beberapa kali, tetapi berpuluh kali sampai kami harus turun mengingat badai akan segera tiba.
Tiba di Plawangan, kami langsung packing untuk turun ke danau. Masih hangat momen-momen puncak pada waktu itu sampai terkadang tanpa sengaja mengukir senyum sendiri-sendiri. Siang membahana saat kami beranjak turun ke danau. Lutut yang tadinya bergerak menopang tubuh ke atas kini beralih fungsi menahan beban ke bawah. Sakit dan ngilu rasanya. Ingin bergerak cepat tapi medan tidak mengizinkan untuk itu. Terlalu curam dan berbahaya. Kami tiba di danau sore hari. Beberapa jam yang lalu kami menatap senyap dan tenang airnya dari ketinggian tiga ribuan meter, dan kini kami berada sejajar dengannya, bahkan tidur di bibirnya. Danau Segara Anak yang menjadi buah bibir orang-orang. Pelengkap keindahan Gunung Rinjani terbentang luas bersama Gunung baru yang masih mengeluarkan sisa-sisa uap panas di lerengnya. Kabut bermain-main di permukaan airnya. Tenang dan bangkitkan gairah untuk terus berada di tepiannya menghirup udara segar dari pepohonan cemara. Desir angin tedengar menggesek-gesek senar dedaunan cemara memberika nuansa yang cukup berikan damai dalam jiwa. Salah satu momen yang membuat kami masih ingin berlama-lama berada di tempat sejuk ini. “terima kasih untuk indah panoramamu dan damainya belaian alam mu”….
Jumat, 31 juni 2011
Kami masih berada di tepian Segara Anak. Sampai pada siang hari, kami mulai berkemas untuk segera menuju ke Plwangan Senaru. Disana kami akan menginap lagi semalam sebelum turun melewati pintu Senaru. Pukul 15.00 wita, kami menanjak lagi menuju Plawangan Senaru sekitar tiga jam. Lumayan meletihkan. Sepanjang jalan, kami disuguhi panorama Puncak Rinjani dari sebelah barat berbaris rapi dengan Gunung Baru di bawahnya. Kami tiba di Plawangan Senaru tepat saat sunset. Cukup mengobati letih tiga jam tracking. Setelah mendapatkan lokasi yang pas untuk mendirikan tenda, kami langsung bergerak dan beristirahat total. Malam itu, kami tidak dapat berbuat terlalu banyak karena persediaan air kami sangat terbatas. Belum lagi persiapan perjalanan unutk esok hari yang panas melewati savanna. Air menjadi tonggak utama sepanjang jalan yang terbuka dan panas. Malam itu, kami bercengkerama dengan teman-teman dalam tenda, sebagai wujud keakraban dan menandai akhir dari perjalanan kami. Tertawa lepas dan bercanda sampai larut malam. Meski dinginnya angin lembah, pegal seluruh tubuh memaksa diri memanja dalam sleeping bag, niat itu urung tertunda. Sampai pada waktu yang memang mengharuskan untuk tidur, barulah kami masing-masing mulai terlelap.
Sabtu, 01 juli 2011
Pukul 09.10 wita, kami mulai menuruni punggungan berpasir dan berdebu. Matahari tidak mau surut dan terus pancarkan bias sinar bahangnya membakar kulit-kulit wajah kami. Terkelupas dan legam, tak perduli kami terus memacu langkah kami menuruni jalur yang agak terbuka. Sangat mudah dilewati dan kami dapat berlari-lari kecil mempercepat langkah.. persediaan air semakin menipis dan kami beruntung mendapat asupan air minum dari porter yang sedari tadi berpapasan dengan kami memikul beban dengan bakul seberat tiga kali carrier kami pada saat berangkat. Sebuah pekerjaan yang luar biasa dan menguras tenaga. Namun itulah kehidupan mereka. Gunung Rinjani menjadi wilayah mereka mencari nafkah dan pulang pergi sesuka hati tanpa kelihatan sedikit pun raut wajah penat luar biasa seperti kami. Mereka orangnya tegar dan bertenaga. Tangguh dari segi fisik dan mental, mengejutkan dalam berbahasa asing.
Kami tiba lebih awal dari teman-teman yang lain. Pukul 12.10 wita , kami sudah berada di Pintu rimba senaru dan beristirahat cukup lama menunggu teman-teman yang lain sampai. Sesaat mereka tiba, leader kami memutuskan untuk pulang ke Mataram dengan menumpangi engkel. Kami berangkat menuju kampus Unram pada pukul 19.30 wita dan tiba pada pukul 22.10 wita di secretariat GRAHAPALA RINJANI UNRAM.

Hari-hari berikutnya
Menikmati pulau Lombok menjadi pilihan kami menghapus lelah akibat menjajal Gunung Rinjani. Beberapa tempat kami kunjungi melengkapi indahnya perjalanan tim ini seperti Pulau Gili Trawangan, Pantai senggigi dan Malimbu sebelum kembali ke Kota tercinta, Makassar. Terima kasih para pembaca, semoga terhibur dengan kisah kami… salam leontopodist dan salam lestari!!!!




0 komentar:

  © ichal_bandot punya 'E.103' by kottink_paribek 2008

Back to TOP